Potensi Persinggungan Kewenangan Ombudsman dengan Badan Peradilan
Kolom

Potensi Persinggungan Kewenangan Ombudsman dengan Badan Peradilan

​​​​​​​Oleh karena itu perlu diantisipasi mekanisme pembagian peran dan fungsi antar masing-masing lembaga yang memiliki kesamaan misi mewujudkan tatanan administrative justice dalam sistem hukum nasional.

Bacaan 2 Menit
Enrico Simanjuntak. Foto: Istimewa
Enrico Simanjuntak. Foto: Istimewa

Ombudsman berfungsi mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah. Termasuk yang diselenggarakan oleh BUMN, BUMD dan BHMN serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu (Pasal 6 UU No. 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia -ORI-).

 

Salah tugas Ombudsman adalah menerima laporan (pengaduan) atas dugaan maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Dalam menjalankan tugas tersebut, Ombudsman berwenang antara lain menyelesaikan laporan (pengaduan) melalui mediasi dan konsiliasi atas permintaan para pihak, termasuk membuat rekomendasi mengenai penyelesaian laporan, termasuk Rekomendasi untuk membayar ganti rugi dan/atau rehabilitasi kepada pihak yang dirugikan (Pasal 8 ayat (1) huruf (f) UU ORI).

 

Oleh karena Ombudsman lebih mengedepankan pendekatan persuasif untuk menjembatani kepentingan diametral antara warga masyarakat dengan penyelenggara layanan publik (pemerintah). Produk yang dikeluarkan pun awalnya hanya berupa rekomendasi, bukan putusan apalagi vonis.

 

Namun kini praktis kewenangan Ombudsman identik dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), yakni selain memiliki kewenangan investigatif (fact-finding) sekaligus sebagai wasit untuk memutuskan persoalan tertentu. Sejatinya, Ombudsman merupakan lembaga ‘mediator publik’ yang menjadi bagian dari elemen kekuatan keempat (fourth power).

 

Bersama pers yang bebas atau elemen masyarakat sipil, Ombudsman diharapkan menjadi penyeimbang tiga cabang kekuasaan lain (legislatif, eksekutif, yudikatif). Namun karakteristik Ombudsman seperti ini mulai bergeser sejak kehadiran UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yang secara khusus memberi tambahan kewenangan ajudikasi kepada Ombudsman dalam sengketa pelayanan publik antara warga masyarakat dengan para penyelenggara publik.

 

Transformasi kelembagaan Ombudsman seperti ini semakin terbuka lebar seiring dengan disahkannya belum lama ini Peraturan Ombudsman RI No. 31 Tahun 2018 Tentang Mekanisme dan Tata Cara Ajudikasi Khusus per 23 Juni 2018 lalu. Kendati terlambat 4 (empat) tahun dari batas waktu yang diamanatkan oleh UU Pelayanan Publik, peraturan tersebut pada pokoknya mengatur hukum acara yang akan digunakan dalam memutus (ajudikasi) tuntutan ganti rugi oleh masyarakat kepada penyelenggara pelayanan publik atas kerugian yang dialami di bidang pelayanan publik.

 

Namun, peraturan Ombudsman tersebut mengandung problematik yuridis terkait sifat final dan mengikat putusan ajudikasi khusus Ombudsman. Kini timbul pertanyaan apakah putusan final dan mengikat Ombudsman tersebut mengandung makna yang sama dengan putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkract van gewisjde) atau apakah artinya tidak dapat diuji kembali secara yuridis sebagaimana halnya putusan Mahkamah Konstitusi?

Tags:

Berita Terkait