Inilah Dampak Disrupsi Teknologi bagi Keberadaan Hakim
Kolom

Inilah Dampak Disrupsi Teknologi bagi Keberadaan Hakim

​​​​​​​Keberadaan teknologi seharusnya dipandang sebagai alat kolaboratif yang dapat membantu para hakim dalam menyusun berbagai argumen dalam putusan-putusan yang mereka hasilkan sehingga lebih baik lagi.

Bacaan 2 Menit
Glenn Wijaya. Foto: Istimewa
Glenn Wijaya. Foto: Istimewa

Di era revolusi industri 4.0 ini, disrupsi teknologi menjadi frase yang begitu sering disebut-sebut belakangan ini. Berbagai perubahan pesat terjadi di berbagai sektor industri karena adanya teknologi yang menggantikan peran manusia ataupun teknologi dari era-era sebelumnya. Dampak dari perkembangan ini adalah timbulnya start-up atau perusahaan digital yang bergerak di bidang fintech di Indonesia yang terus melejit, namun, bagaimana dengan persidangan di Indonesia?

 

Nyatanya, proses persidangan di Indonesia belum mengadopsi sistem-sistem termutakhir layaknya di belahan dunia lain. Amerika Serikat dan Inggris menjadi pelopor dalam penggunaan teknologi canggih untuk membantu hakim-hakim dalam persidangan, dan hal ini ternyata sudah dipraktikkan dan menunjukkan hasil. Saya akan membahas contoh-contoh tersebut lebih lanjut dalam tulisan ini.

 

Sebelum melangkah lebih jauh, saya ingin menjelaskan bahwa contoh-contoh yang ada memang berasal dari negara-negara yang menganut sistem Anglo-Saxon yaitu common law. Namun, contoh perbandingan dari negara-negara common law tak perlu dikecualikan karena sudah layak dan sepantasnya Indonesia mencontoh penggunaan yurisprudensi dalam memutus sebuah perkara.

 

Indonesia memang bukanlah negara yang menganut sistem common law sehingga Indonesia tak mengakui prinsip stare decisis. Namun, tak jarang, advokat Indonesia menggunakan berbagai putusan terdahulu sebagai dasar argumennya dalam sebuah surat gugatan yang tertuang dalam Pasal 8 Reglement op de Rechtsvordering (Rv), yang berbunyi demikian: “De middelen en het onderwerp van den eisch, met eene duidelijke en bepaalde conclusie” di mana de middelen dapat diartikan menurut Mr. W. Hugenholtz dalam bukunya yang berjudul Hoofdlijnen van Nederlands Burgerlijk Procesrecht, 1958 sebagai fakta-fakta yang padanya gugatan didasarkan, pembenaran atas apa yang dimintakan, yang disebut fundamentum petendi (de feiten, waarop de eis gebaseerd is, de motivering van hetgeen men vraagt, het fundamentum petendi).

 

Seringkali advokat-advokat menggunakan berbagai putusan-putusan terdahulu di dalam fundamentum petendi agar dapat meyakinkan majelis hakim bahwa kasus serupa pernah diputus dan menghasilkan vonis tertentu. Putusan-putusan Hoge Raad di Belanda pun sering menjadi rujukan di masa lampau, dan masih banyak referensi terhadap putusan-putusan tersebut di dalam buku-buku hukum yang dipakai hingga sekarang di Indonesia. Fakta-fakta ini membuktikan bahwa Indonesia juga memerlukan berbagai data putusan-putusan yang lengkap dan akurat agar dapat membantu para advokat dalam menyusun fundamentum petendi yang berargumen kuat.

 

Argumen demi argumen yang dibangun atas dasar putusan terdahulu atau yang sering disebut yurisprudensi akan dipertimbangkan oleh hakim. Tapi, bagaimana caranya agar hakim-hakim dapat mengakses dan melakukan riset secara mendalam atas yurisprudensi secara cepat dan tepat agar menghasilkan putusan yang lebih konsisten?

 

Tentu saja, di era modern seperti sekarang, banyak teknologi yang berkembang pesat, dan ada berbagai jenis, sebut saja artificial intelligence (AI), machine learning, bahkan big data analytics. Di Indonesia, teknologi-teknologi ini belum dipakai secara luas di dalam dunia persidangan, namun, di luar negeri, sudah ada beberapa contoh penggunaan artificial intelligence atau algoritma serta big data seperti contoh-contoh berikut ini.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait