Aturan STNK Badan Hukum Transportasi Online: Cara Pikir Lama Penghambat Model Bisnis Baru
Berita

Aturan STNK Badan Hukum Transportasi Online: Cara Pikir Lama Penghambat Model Bisnis Baru

Dari sisi persaingan usaha, konversi kepemilikan STNK pribadi menjadi badan hukum terhadap transportasi online jelas merupakan barrier (hambatan) bagi setiap orang untuk berbisnis. Sementara secara prinsip jelas bahwa regulasi tak boleh menjadi barrier, melainkan harus memberikan fleksibilitas bagi setiap orang untuk masuk dan keluar dari suatu industri.

Oleh:
Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit
Policy Forum, Kebijakan transportasi perkotaan dan Pengembangan Ekonomi Regional yang diselenggarakan oleh Hukumonline bekerjasama dengan D inside di Hotel Wyndham, Surabaya, Selasa (28/8).
Policy Forum, Kebijakan transportasi perkotaan dan Pengembangan Ekonomi Regional yang diselenggarakan oleh Hukumonline bekerjasama dengan D inside di Hotel Wyndham, Surabaya, Selasa (28/8).

Arus digitalisasi yang berkembang pesat hingga ke berbagai sektor bisnis yang difasilitasi melalui transportasi online, telah memperkuat posisi UMKM sebagai soko guru bangsa. Hal ini terbukti lewat berbagai usaha baru yang bermunculan tanpa harus menghadirkan kondisi ‘lapak’ secara fisik, tanpa harus merogoh kocek besar untuk iklan dan brosur, cukup bergabung sebagai mitra di perusahaanberbasis aplikasi tersebut.

 

Anehnya, bukan malah menyesuaikan regulasi dengan arus perkembangan model bisnis baru, regulator dinilai kerapkali menggunakan pola pikir lama yang justru menghambat perkembangan bisnis UMKM. Hal ini diutarakan oleh Mantan Ketua Komisioner KPPU, Syarkawi Rauf, dalam Policy Forum, Kebijakan transportasi perkotaan dan Pengembangan Ekonomi Regional yang diselenggarakan oleh Hukumonline bekerjasama dengan D inside di Hotel Wyndham, Surabaya, Selasa (28/8).

 

Sebagai informasi, mulanya Permenhub No. 26 Tahun 2017 (lihat pasal 19 ayat (3.e), 27 (a), 36 (4.c), 37 (4.c), dan 66 (4)) mewajibkan STNK transportasi online harus atas nama badan hukum. Aturan ini kemudian diajukan Uji Materiil di Mahkamah Agung dengan Putusan No. 37 P/HUM/2017 yang menyatakan pencabutan persyaratan tersebut karena dianggap bertentangan dengan pasal 3 dan pasal 4 UU No. 20 Tahun 2008 tentang UMKM, yakni menghambat pertumbuhan, kemandirian dan perkembangan UMKM.

 

Pasca terbitnya putusan MA a quo, tertanggal 24 Oktober 2017 resmi diundangkan Permenhub No. 108 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek yang merevisi ketentuan soal Kewajiban kepemilikan STNK atas nama badan hukum menjadi (lihat pasal 1 (21), 27 (1.f), 39 (1) 49 (4.c) dan 50 (4.c)):

 

  1. STNK atas nama Badan Hukum, atau:
  2. Dapat atas nama perorangan untuk badan hukum berbentuk koperasi

 

Selanjutnya, Pihak Termohon (Menhub) dalam jawabannya atas JR HUM Permenhub 108/2017 dalam Putusan MA No. 66 P/HUM/2017 menyebut kewajiban STNK harus berbadan hukum didasarkan bahwa setiap kendaraan yang dipergunakan untuk mengangkut penumpang umum dan berbayar berdasarkan UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan termasuk kategori angkutan umum, bukan lagi angkutan pribadi. Poin pengecualian yang perlu diingat, terakhir MK dalam Putusan No. 41/PUU-XVI/2018 khusus untuk Ojek Online (sepeda motor) diputuskan tidak masuk dalam kategori angkutan umum.

 

(Baca Juga: Ini Kritik KPPU Terhadap Permenhub 26/2017)

 

Dari sisi Persaingan Usaha, kata Syarkawi, konversi kepemilikan STNK pribadi menjadi badan hukum terhadap transportasi online jelas merupakan barrier (hambatan) bagi setiap orang untuk berbisnis. Sementara secara prinsip jelas bahwa regulasi tak boleh menjadi barrier, melainkan harus memberikan fleksibilitas bagi setiap orang untuk masuk dan keluar dari suatu industri.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait