Simon Butt: Seharusnya Lebih Banyak Perempuan Menjadi Hakim MK
Profil

Simon Butt: Seharusnya Lebih Banyak Perempuan Menjadi Hakim MK

Pengadilan seperti MK sangat bersandar pada reputasinya di mata masyarakat. MK perlu menjaga persepsi masyarakat tentang para hakimnya.

Oleh:
Normand Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Professor of Indonesian Law di Sydney Law School, The University of Sydney, Simon Andrew Butt.
Professor of Indonesian Law di Sydney Law School, The University of Sydney, Simon Andrew Butt.

Berawal dari terjebak harus memilih kelas bahasa Indonesia di sekolah menengah pertama, Simon Andrew Butt mungkin tidak pernah membayangkan akan menjadi Professor of Indonesian Law di Sydney Law School, The University of Sydney. “Saya mau melanjutkan belajar bahasa Prancis tetapi kelasnya full, saya terpaksa ambil kelas bahasa Indonesia,” kata ilmuwan yang akrab disapa Simon ini menceritakan kepada hukumonline sembari tertawa.

 

Menurut Simon, pada masa itu cukup banyak sekolah umum di Australia menyediakan kelas bahasa Indonesia sebagai mata pelajaran pilihan. “Karena gurunya juga bagus, itu membuat saya mulai belajar mengenai Indonesia. Lama kelamaan bisa dikatakan jatuh cinta,” ujarnya.

 

Simon pertama kali berkunjung ke Indonesia sebagai siswa sekolah menengah atas dalam tur studi sekolah. Bersama teman-teman sekelasnya ia berkunjung ke Ubud, Bali. Mulai dari wisata hingga belajar pencak silat menjadi kenangan Simon tentang Ubud yang masih bernuansa pedesaan.

 

Memasuki pendidikan tinggi di Australian National University, Simon mengambil studi tentang bahasa Indonesia bersamaan dengan studi hukum. Selama studi sarjana ini Simon kembali berkunjung ke Indonesia di tahun 1995 melalui program The Australian Consortium for ‘In-Country’ Indonesian Studies (ACICIS). Ia belajar hukum Indonesia secara langsung di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

 

“Semacam pertukaran mahasiswa, waktu itu saya angkatan pertama ACICIS,” katanya.

 

Menyelesaikan studi sarjana di Australian National University dengan nilai tinggi, Simon berhak mengikuti program doktor tanpa perlu melewati jenjang magister. “Saya dapat nilai cukup bagus, lalu saya lanjutkan doktor dengan fokus hukum Indonesia. Topik saya tentang MK,” katanya.

 

Menjadi seorang profesor hukum, Simon seolah meneruskan jejak ayahnya, Peter Butt, yang juga profesor bidang hukum agraria di Sydney Law School. Pada awalnya Simon tertarik meneliti pengadilan negeri di Indonesia. Ketertarikannya meneliti MK berawal dari putusan MK berkaitan kasus bom Bali. MK menyatakan UU No.16 Tahun 2003 yang memberlakukan Perppu Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tidak berlaku mengikat.

 

“Itu menarik perhatian banyak orang Australia dan membuat saya mengubah fokus. Sejak saat itu saya banyak menulis tentang hukum Indonesia khususnya konstitusionalisme dan Mahkamah Konstitusi,” katanya. Salah satu buku yang lahir dari tangannya adalah "The Constitutional Court and Democracy in Indonesia".

Tags:

Berita Terkait