Pemerintah Perlu Segera Ratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa
Berita

Pemerintah Perlu Segera Ratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa

​​​​​​​Untuk mencegah agar kasus penghilangan paksa tidak terjadi lagi dan memberi efek jera terhadap pelaku.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi korban memperjuangkan hak. Ilustrator: HGW
Ilustrasi korban memperjuangkan hak. Ilustrator: HGW

Kasus penghilangan paksa bukan hanya persoalan yang dihadapi Indonesia, tapi juga negara lain yang pernah menerapkan politik otorianisme, despotisme dan militerisme. Ketua Umum Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (Ikohi), Wanmayetty, mencatat sedikitnya ada 6 kasus penghilangan paksa dan penculikan yang terjadi di Indonesia.

 

Pertama, tragedi pembunuhan massal 1965-1966. Kedua, penembakan misterius 1982-1985. Ketiga, peristiwa Tanjung Priok tahun 1984. Keempat, peristiwa Talangsari 1989. Kelima, penghilangan paksa Aristoteles Masoka di Papua. Keenam, penculikan dan penghilangan paksa aktivis pro demokrasi 1997-1998. Dari berbagai peristiwa itu, hanya peristiwa Tanjung Priok yang berlanjut sampai pengadilan. Itu pun prosesnya dirasa tidak memberi rasa keadilan bagi korban.

 

Menurut Yetty pemerintah dan DPR harus melakukan upaya serius untuk mencegah agar kasus penculikan dan penghilangan paksa tidak terjadi lagi. Salah satu caranya yakni meratifikasi konvensi internasional Anti Penghilangan Paksa. “Praktik penghilangan paksa berpotensi terjadi lagi karena konvensi ini belum diratifikasi,” kata perempuan yang ayahnya jadi korban peristiwa Tanjung Priok itu di Jakarta, Kamis (30/8).

 

Melalui ratifikasi itu Yetty berharap bisa memberikan kepastian hukum dan pengakuan negara terhadap berbagai kasus pelanggaran HAM yang terjadi. Yetty mengingat Presiden Joko Widodo pernah berjanji untuk meratifikasi konvensi itu, sayangnya sampai sekarang belum terlaksana.

 

Ayah dari Ucok Munandar Siahaan korban penculikan dan penghilangan paksa aktivis pro demokrasi 1997-1998, Paian Siahaan, mengatakan, telah meminta Presiden Joko Widodo untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Pernyataan itu sudah dia sampaikan langsung kepada Presiden dalam pertemuan antara peserta aksi Kamisan dengan Presiden Joko Widodo akhir Mei 2018 lalu. Sayangnya sejak pertemuan itu sampai sekarang, Paian tidak mengetahui bagaimana tindaklanjutnya. “Kami harap pemerintah serius menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat,” ujarnya.

 

Paian mengingatkan, kasus pelanggaran HAM berat banyak yang belum tuntas, termasuk peristiwa penculikan dan penghilangan paksa aktivis 1997-1998. Komnas HAM sudah melakukan penyelidikan terhadap 9 kasus pelanggaran HAM berat itu tapi belum ada satu pun yang ditindaklanjuti Jaksa Agung. “Kami sudah 20 tahun berjuang untuk mencari keadilan dan kebenaran, tapi sampai saat ini penyelesaian kasusnya belum ada perkembangan positif,” urainya.

 

Baca:

Tags:

Berita Terkait