Komunitas Advokat Uji Aturan Praperadilan ke MK
Berita

Komunitas Advokat Uji Aturan Praperadilan ke MK

Pemohon meminta kepada Mahkamah agar Pasal 82 ayat (1) huruf c KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto. RES
Gedung MK. Foto. RES

Asosiasi Advokat Muda Seluruh Indonesia (AAMSI) uji materi Pasal 82 Ayat (1) huruf c dan d dalam UU No. Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) di Mahkamah Konstitusi (MK) terkait proses penundaan sidang praperadilan. Permohonan ini diwakili oleh Ketua Umum AAMSI Minola Sebayang dan Sekretaris Jenderal AAMSI Herwanto.

 

Pemohon menilai Pasal 82 ayat (1) huruf c KUHAP seharusnya hakim praperadilan dapat menunda sidang melewati batas waktu pemeriksaan praperadilan selama 7 hari, saat penyidik meminta hakim untuk melakukan penundaan. “Meski tujuan awal terbentuknya aturan ini agar Pemohon praperadilan bisa segera mendapat keadilan formil atas keabsahan penangkapan atau penahanan serta penetapan tersangka atas permintaan tersangka atau keluarganya atau kuasanya,” ujar Sekjen AAMSI Herwanto di Gedung MK, Rabu (5/9/2018).

 

Pasal 82 ayat (1) huruf c dan huruf d KUHAP 

Ayat (1) Acara pemeriksaan praperadilan untuk hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 81 ditentukan sebagai berikut:

  1. a....
  2. b....
  3. pemeriksaan  tersebut  dilakukan  cara  cepat  dan  selambat-lambatnya tujuh hari hakim harus sudah menjatuhkan putusannya;
  4. dalam  hal  suatu  perkara  sudah  mulai  diperiksa  oleh  pengadilan negeri,  sedangkan  pemeriksaan  mengenai  permintaan  kepada  praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur.

 

Menurutnya, penundaan sidang praperadilan sering digunakan sebagai upaya mengulur-ulur waktu agar suatu perkara di pengadilan negeri dapat mulai disidangkan. Dengan begitu, sidang atas permintaan praperadilan menjadi gugur. Baginya, proses praperadilan yang dinyatakan gugur saat dimulainya sidang pertama pemeriksaaan perkara seperti diatur Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP, sesungguhnya bukan disebabkan kealpaan Pemohon praperadilan, melainkan disebabkan kealpaan pengaturan mengenai berapa lama batas waktu dimulainya sidang pertama praperadilan yang dapat mengakibatkan prosesnya menjadi berlangsung lama.

 

“Pasal quo menjadi norma yang muatannya tidak pasti dan tidak adil, karena seseorang yang tidak melakukan kealpaan harus menanggung konsekuensi ketidakpastian hukum dalam proses praperadilan yang masih berjalan dinyatakan gugur,” sebutnya.

 

Ia mencontohkan, seperti kasus praperadilan Setya Novanto, KPK mengajukan permohonan kepada majelis hakim agar praperadilan ditunda selama 3 minggu. Kemudian, hakim mengabulkan permohonan KPK dan menunda sidang satu minggu.

 

“Dengan dikabulkannya penundaan sidang praperadilan selama 1 minggu, proses penyidikan terus berjalan. Hingga, dimulainya sidang perkara Setya Novanto di pengadilan. Dan, mengakibatkan proses peradilan yang sedang berjalan menjadi gugur,” tandasnya. (Baca Juga: Praperadilan Novanto Gugur, Tak Ada Upaya Hukum Lanjutan)

Tags:

Berita Terkait