Kebijakan dalam Segala Cuaca
Tajuk

Kebijakan dalam Segala Cuaca

​​​​​​​Dalam sejarah perjalanan Republik ini, perubahan kebijakan mendadak, baik ditujukan untuk perbaikan tata kelola pemerintahan dan dunia usaha, ataupun karena kepanikan, telah sering terjadi.

Oleh:
RED
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: SUP
Ilustrasi: SUP

Tentang cara pengambilan keputusan, saya banyak belajar banyak dari seorang juaranya, Profesor Kuntoro Mangkusubroto (KM) dari SBM ITB. Apalagi untuk memutuskan kebijakan tentang suatu hal dalam kondisi krisis. KM pernah menjabat sebagai Ketua BRR (Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh dan Nias) segera setelah terjadinya gempa dan tsunami dahsyat di Aceh dan Nias pada tanggal 26 Desember tahun 2004 yang meluluh-lantakkan sebagian wilayah tersebut dengan dampak yang masif dan korban jiwa dan hilang sebanyak antara 230.000 sampai 280.000 orang. Kepemimpinan KM dalam penanganan bencana tsunami Aceh dan Nias mendapat mendapat begitu banyak pujian dari dunia internasional. 

 

Saya ingat betul kata-kata KM pada waktu beliau meminta kepada tim pendukungnya untuk dibuatkan suatu peraturan berupa undang-undang atau setingkat undang-undang yang memberi dasar hukum yang kuat agar BRR dapat efektif bekerja dalam kondisi krisis.

 

Peraturan tersebut di antaranya harus: (i) dibuat secepat mungkin, mengingat kritisnya keadaan, (ii) memberikan kewenangan sebesar mungkin kepada BRR agar dapat bekerja efektif, dan kalau perlu dengan mengatur secara khusus hal-hal yang sudah diatur lain dalam semua peraturan lain yang ada (yang bisa menghalangi kecepatan dan efektifitas usaha rekonstruksi dan rehabilitasi - ini harus dibaca sebagai usaha penyelamatan korban tsunami dan rehabilitasi kehidupan mereka secepatnya), (iii) mewajibkan BRR untuk menerapkan kebijakan dan operasi dengan tingkat governance yang tinggi mengingat BRR menerima dana dari APBN dan donasi dari sejumlah donor nasional dan internasional, baik negara, lembaga maupun perorangan yang memerlukan adanya pengelolaan dana yang akuntabel.

 

Harus diingat bahwa pada waktu itu konflik bersenjata antara pasukan TNI dan GAM masih terjadi. Dan perdamaian baru terjadi hampir delapan bulan setelah peristiwa bencana tsunami tersebut, yaitu pada tanggal 15 Agustus 2005.

 

Peraturan tersebut membuat sejumlah menteri dan pejabat tinggi negara yang terdampak bereaksi, dari yang mendukung sampai dengan keras menentang. Tentu dimaklumi, karena sebagian dari mereka tidak terbiasa berfikir dalam moda krisis, sehingga mengharapkan bahwa semua urusan, terutama yang biasanya berada dalam wilayah wewenangnya, berjalan normal dan taat aturan.

 

Atas nama kemanusiaan, akhirnya Perppu no 2 tahun 2005 tentang BRR, setelah mengakomodasi beberapa "concern" di sana sini, dikeluarkan sebagai payung hukum BRR agar dapat bekerja dalam moda krisis, sehingga BRR segera bisa langsung turun ke lapangan bencana dan bekerja dengan cepat dan efektif.

 

Ternyata kebijakan dan peraturan saja tidak cukup, karena para pejabat di lapangan belum siap dalam pemahaman aturan-aturan baru tersebut, sehingga percikan-percikan di lapangan masih saja terjadi, sampai mereka akhirnya berhasil diyakinkan untuk menerima dan ikut mendukung pelaksanaan kebijakan BRR di lapangan.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait