Revisi UU Kepailitan Buka Pintu Eksekusi Putusan Asing yang Akui Putusan Indonesia
Utama

Revisi UU Kepailitan Buka Pintu Eksekusi Putusan Asing yang Akui Putusan Indonesia

Bisa saja dibuat kesepakatan untuk saling mengakui putusan masing-masing negara atau di tingkat ASEAN menyepakati aturan hukum yang seragam untuk CBI. Namun, Indonesia tetap harus merumuskan regulasi soal CBI agar tak terjadi kekosongan hukum yang berlarut.

Oleh:
Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Eksekusi harta pailit lintas yurisdiksi memang memuat beragam persoalan kompleks yang tak kunjung usai. Selain karena besarnya gap antar pengaturan suatu negara dengan negara lainnya, masih biasnya wewenang kurator untuk melakukan pemberesan di luar negeri layaknya wewenang yang ia miliki di negara asal.

 

Bahkan hingga saat ini belum tersedia konvensi Internasional yang mengatur soal eksekusi harta pailit kecuali hanya acuan berupa UNCITRAL Model law on cross border insolvency 1997 (yang sifat anutannya sukarela). Ditambah lagi prinsip ‘tak mengakui putusan pailit negara lain’ yang santer digunakan banyak negara, semakin mempersulit implementasi putusan pailit terhadap yurisdiksi negara lain.

 

Sekalipun demikian tak dapat dipungkiri, seiring pesatnya aktivitas bisnis lintas negara maka kebutuhan akan pengaturan yang jelas soal cross border insolvency (CBI) ini tak bisa dihindari. Indonesia yang belum mengatur perihal CBI juga berencana memasukkan ketentuan baru resiprokal (mengakui putusan asing yang mengakui putusan Indonesia) melalui Revisi UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (KPKPU).

 

Singapura yang tadinya juga tak mengakui putusan pailit negara lain pun, tertanggal 23 Mei 2017 pasca mengadopsi model law 1997 melalui the companies (amandement) act 2017 baru mengakui adanya konsep kerjasama peradilan dalam eksekusi kepailitan.

 

Ketua Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI) James Purba menyebut, ‘asas teritori’ memang menjadi dasar dari putusan kepailitan yang di dalamnya berlaku prinsip kedaulatan. Permasalahannya secara prinsip umum, hukum yang mengatur suatu benda bergantung pada hukum tempat di mana benda itu berada.

 

Konsekuensi dari perbedaan prinsip itu, eksekusi asset lintas yurisdiksi sangat bergantung pada aturan pailit yang berlaku di masing-masing negara tujuan. Pada akhirnya, digunakanlah jasa advokat di negara tujuan untuk mengurus permohonan eksekusi pailit pada pengadilan negara tujuan.

 

“Tapi tergantung aturan main di sana, apakah bisa langsung diambil dengan memakai bantuan penegak hukum di sana atau haruskah melalui prosedur hukum tertentu, tapi yang pasti harus mengikuti tata cara yang berlaku di sana,” kata James.

Tags:

Berita Terkait