Mari Kenali Mekanisme Penagihan yang Tepat di Perusahaan Fintech
Berita

Mari Kenali Mekanisme Penagihan yang Tepat di Perusahaan Fintech

Sesuai kode etik dan perilaku Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech), perusahaan fintech dilarang menagih secara intimidatif hingga menggunakan kekerasan fisik dan mental kepada nasabahnya.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
YLKI. Foto: RES
YLKI. Foto: RES

Tindakan intimidasi dan teror dalam penagihan kredit atau pinjaman di perusahaan financial technology (fintech) kepada nasabah persoalan serius yang menjadi sorotan publik. Semakin meningkatnya jumlah pengaduan menjadi indikasi bahwa praktik penagihan secara intimidatif dan teror perusahaan fintech bukan lagi permasalahan sederhana.

 

Bahkan, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) sudah menerima pengaduan dari konsumen yang menjadi korban bentuk dan modus penagihan seperti itu, melebihi angka 100 laporan. Dari jumlah laporan tersebur didominasi kasus penagihan secara intimidasi hingga mencekiknya tingkat bunga pinjaman.

 

“Makin hari makin banyak pengaduan konsumen yang menjadi korban perusahaan fintek (finansial teknologi). Konsumen terjebak menjadi korban perusahaan fintek berupa utang atau kredit online. Saat ini sudah lebih dari 100-an pengaduan konsumen korban fintek yang diterima YLKI, baik berupa teror, denda harian, dan atau bunga/komisi yang setinggi langit,” kata Ketua Harian YLKI, Tulus Abadi saat dikonfirmasi, Rabu (12/9/2018). Baca Juga: Konsumen Diminta Waspadai Maraknya Kredit Online

 

Tulus menjelaskan aksi teror perusahaan fintech kepada nasabahnya tersebut dilakukan menggunakan telepon hingga aplikasi media sosial seperti Whatsapp. Menurutnya, tindakan intimidasi tersebut merupakan pelanggaran terhadap hak-hak konsumen yang dapat dikenakan tindakan perdata maupun pidana.

 

Tak hanya itu, pelanggaran perusahaan fintech tersebut pada penerapan bunga tinggi di luar batas wajar atau pasar. Berdasarkan pengaduan, kata Tulus, bahkan ada perusahaan fintech membungakan hingga 62 persen dari hutang pokok. Perusahaan fintech juga mengenakan denda kepada nasabahnya yang terlambat melunasi pinjamannya hingga Rp 50.000 per hari. “Ini jelas pemerasan kepada konsumen,” kata Tulus.

 

Melihat kondisi tersebut, Tulus mendesak OJK sebagai lembaga pengawas menutup atau memblokir perusahaan fintech tersebut agar tidak semakin meresahkan masyarakat. Menurut Tulus, OJK perlu menertibkan praktik fintech ilegal atau tidak berizin yang semakin menjamur di masyarakat.

 

YLKI juga menghimbau agar konsumen untuk membaca dengan cermat persyaratan-persyaratan yang ditentukan oleh perusahaan fintech sebelum bersepakat. Sebab, teror yang dialami konsumen bisa jadi bermula dari ketidaktahuan konsumen memahami persyaratan teknis yang ditentukan oleh perusahaan fintek tersebut.

Tags:

Berita Terkait