LBH Jakarta Tangani Korban Operasi Pengamanan Asian Games
Berita

LBH Jakarta Tangani Korban Operasi Pengamanan Asian Games

Anggota Komisi Kepolisian Nasional ikut bersuara.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi kejahatan. Ilustrtor: BAS
Ilustrasi kejahatan. Ilustrtor: BAS

Penyelenggaraan Asian Games di Jakarta dan Palembang beberapa waktu lalu tergolong sukses. Tapi LBH Jakarta mencatat ada pelanggaran yang terjadi dalam operasi yang digelar aparat kepolisian untuk pengamanan Asian Games 2018. Advokat publik LBH Jakarta, Saleh Ghifari, mengatakan  pihaknya menerima 5 pengaduan, tapi hanya 2 yang ditangani lebih lanjut karena 3 kasus sisanya tidak mendapat informasi yang cukup dari pengadu.

Dua perkara yang ditangani yaitu korban bernama Bobi Susanto dan Dedi alias Jabrik. Ghifar menjelaskan dari informasi yang diterima LBH Jakarta Bobi dituduh menjambret, kemudian dihakimi massa, lalu diserahkan kepada polisi. Setelah itu Bobi tewas, aparat berkilah Bobi ditembak karena melawan saat dilakukan 'pengembangan.' Alasan serupa juga disampaikan aparat kepolisian untuk kasus Dedy alias Jabrik. Walau keduanya ditembak di lokasi yang berbeda tapi bagian tubuh yang disasar timah panas diduga kuat di posisi yang sama yakni bagian dada sebelah kiri (jantung).

Ghifar mencatat sedikitnya ada 8 kejanggalan terhadap peristiwa yang menimpa Bobi san Dedi. Pertama, terjadi stigma kepada para korban. Keluarga korban tidak setuju terhadap profil dan catatan kriminal yang disampaikan kepolisian untuk Bobi dan Dedi. Korban dituduh masing-masing sebagai penjambret dan pembegal sadis tanpa bukti putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Kedua, tidak ada surat penangkapan dan penahanan atau surat terkait upaya paksa kepolisian yang diberikan kepada tersangka atau keluarganya. Ketiga, lokasi penembakan berbeda dan polisi tidak transparan dan akuntabel. Polisi tidak memberikan penjelasan memadai perihal lokasi penembakan dan situasi yang terjadi kepada keluarga Bobi dan Dedi.

Keempat, Ghifar ragu terhadap alasan kepolisian yang menyebut penembakan dilakukan pada saat dilakukan pengembangan. Padahal investigasi yang dilakukan LBH Jakarta menemukan informasi yang menjelaskan kondisi Bobi dan Dedi dikawal banyak petugas dan diborgol ketika dilakukan pengembangan. "Tidak masuk akal jika disebut Bobi dan Dedy melakukan perlawanan," katanya dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu (12/9).

Kelima, tembakan diarahkan ke dada. Menurut Ghifar posisi luka tembak langsung mengenai organ vital yakni jantung. Keenam, diduga terjadi penyiksaan karena di tubuh Bobi dan Dedi terdapat luka lebam di wajah dan bekas puntung rokok di punggung dan tangan. Ketujuh, keluarga tidak diberi kesempatan otopsi jenazah. Pada saat penyerahan jenazah pihak keluarga dipaksa menandatangani surat pernyataan tidak melakukan otopsi. Delapan, keluarga diberi uang/motor oleh pihak kepolisian dan dilarang menuntut Kejanggalan kematian Bobi dan Dedi.

Direktur LBH Jakarta, Arif Maulana, mencatat ada sejumlah peraturan yang dilanggar dalam peristiwa itu antara lain melanggar aturan KUHAP. Aparat harusnya memberikan surat pemberitahuan kepada keluarga mengenai penangkapan, penggeledahan, dan penyiaran barang. Namun dalam kasus yang dialami Bobi dan Dedi, surat sebagaimana diatur dalam KUHAP itu tidak pernah diterima pihak keluarga. Kemudian melanggar prinsip fair trial, mestinya yang dinjunjung tinggi prinsip praduga tak bersalah dan membawa kasus ini ke pengadilan, tapi Bobi dan Dedi malah ditembak mati.

Tags:

Berita Terkait