Babak Baru “Konflik” Bawaslu-KPU dalam Pileg 2019 Oleh: Munandar Nugraha*)
Kolom

Babak Baru “Konflik” Bawaslu-KPU dalam Pileg 2019 Oleh: Munandar Nugraha*)

Kita berharap polemik ini tidak memanas seperti polemik di dunia hukum yang pernah terjadi.

Bacaan 2 Menit
Munandar Nugraha. Foto: dokumen pribadi
Munandar Nugraha. Foto: dokumen pribadi

Akhir Agustus 2018, polemik “Bawaslu vs KPU” sempat memanas. Polemik ini mengemuka setelah muncul beberapa putusan sidang ajudikasi sengketa proses yang digelar oleh Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota yang memenangkan para bakal calon legislatif (bacaleg) mantan narapidana (napi) korupsi.

 

Reaksi publik negatif, Bawaslu dianggap tidak pro terhadap pencegahan dan pemberantasan korupsi. Bawaslu juga dianggap telah melampaui kewenangannya dan melanggar UU Pemilu, karena telah membuat putusan yang “mengeliminasi” PKPU. Padahal, kewenangan menguji PKPU milik Mahkamah Agung (MA). Polemik terus memanas, karena KPU menyatakan tidak akan menindaklanjuti putusan Bawaslu, sebelum ada putusan MA yang tengah diuji.

 

Tidak banyak publik yang paham, bahwa putusan Bawaslu itu bukanlah mengeliminasi PKPU, tetapi mengeliminasi putusan KPU yang men-TMS-kan (tidak memenuhi syarat) bacaleg mantan napi. Karena, yang menjadi dasar obyek sengketa dalam adjudikasi Bawaslu bukanlah PKPU, tetapi putusan KPU yang men-TMS-kan bacaleg. Sehingga, putusan Bawaslu bukanlah menganulir PKPU, tetapi menganulir, putusan TMS tersebut menjadi Memenuhi Syarat (MS). Artinya, putusan Bawaslu tidaklah melampaui kewenangannya. Tidak offside, dan tidak mendahului MA.

 

Pada Kamis 13 September 2018, pengujian PKPU pun bermuara. MA memutuskan mengabulkan gugatan uji materi Pasal 4 ayat 3 Peraturan KPU Nomor 20 tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/kota. Juga mengabulkan gugatan uji materi terhadap Pasal 60 huruf j PKPU Nomor 26 tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPD.

 

Kedua PKPU itu mengatur larangan bagi mantan narapidana korupsi, bandar narkoba dan kasus kejahatan seksual pada anak menjadi bakal calon legislatif (bacaleg). Putusan tersebut berkaitan dengan perkara uji materi nomor 45 P/HUM/2018 yang diajukan oleh mantan terpidana korupsi, Wa Ode Nurhayati.

 

Majelis hakim yang terdiri dari tiga hakim agung: Irfan Fachrudin, Yodi Martono dan Supandi menilai, ketentuan dalam PKPU 20/2018 dan PKPU 26/2018, bertentangan dengan Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang menyatakan bahwa, bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota adalah Warga Negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan: "Tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana".

 

Putusan MA sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 24A, seharusnya dapat menyelesaikan polemik “Bawaslu vs KPU”. Tiga hakim agung MA menilai, ketentuan dalam PKPU 20/2018 dan PKPU 26/2018, bertentangan dengan Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Tags:

Berita Terkait