Mungkinkah Partai Politik Diperlakukan Sebagai Korporasi dalam Kasus Tipikor?
Utama

Mungkinkah Partai Politik Diperlakukan Sebagai Korporasi dalam Kasus Tipikor?

UU Tipikor dan Peraturan Mahkamah Agung memasukkan badan hukum dan bukan badan hukum sebagai korporasi.

Oleh:
Fitri N. Heriani/Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Mantan Sekjen Partai Golkar Idrus Marham usai diperiksa di KPK dalam kasus korupsi. Foto: RES
Mantan Sekjen Partai Golkar Idrus Marham usai diperiksa di KPK dalam kasus korupsi. Foto: RES

Komisi Pemberantasan Korupsi sudah mulai menyasar korporasi sebagai tersangka tindak pidana korupsi. Tercatat, misalnya, PT Ninda Karya pernah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi pada proyek pembangunan dermaga bongkar muat pada Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang senilai Rp793 miliar, dan menyebabkan kerugian negara sebesar Rp313 miliar.

 

KPK juga pernah menjerat PT Trada dengan dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Temuan ini merupakan hasil pengembangan penyidikan dari kasus Bupati Kebumen Mohammad Yahya Fuad dalam dugaan penerimaan suap dan gratifikasi terkait sejumlah proyek yang menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2016.

 

Teranyar, muncul pertanyaan apakah partai politik bisa dijadikan sebagai tersangka kasus korupsi? Pertanyaan itu mencuat dalam kasus korupsi proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Mulut Tambang Riau-1. Kasus ini telah menyeret pengurus Partai Golkar Eni Maulani Saragih, mantan Sekjen Partai Golkar Idrus Marham, dan pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo selaku konsultan dan pemilik saham di perusahaan asal Singapura, BlackGold Natural Resources.

 

Kepada penyidik, Eni Maulani mengaku sebagian uang pemberian Kotjo mengalir ke panitia Munaslub Partai Golkar, Desember tahun lalu. Eni jadi bendahara dalam perhelatan itu. Indikasi aliran dana itu cukup kuat karena Partai Golkar sudah mengembalikan uang Rp700 juta ke KPK. Kuasa Hukum Eni, M. Fadli Nasution membenarkan adanya pengembalian uang tersebut. Berdasarkan penuturan kliennya, kata Fadli, uang yang diserahkan ke Panitia Munaslub Partai Golkar berjumlah Rp2 miliar. “Iya, sudah disita sebagai barang bukti (uang 700 juta). Masih sisa Rp1,3 miliar. Klien kami sudah menyampaikan yang sebenarnya,” katanya.

 

(Baca juga: Kejagung Ingatkan Bahaya Kejahatan Korporasi)

 

Lantas, bisakah partai politik dijerat UU Tindak Pidana Korupsi dan diperlakukan sebagai korporasi? Partai politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Berdasarkan Pasal 3 UU No. 2 Tahun 2011 mengenai Partai Politik, partai politik harus terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM untuk didaftarkan sebagai badan hukum.

 

Peneliti Hukum pada Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW), Donal Fariz, berpendapat partai politik yang terbukti terlibat dalam tindakan korupsi dapat dijerat KPK dan dikualifikasi sebagai korporasi. Ia merujuk pada definisi korporasi dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; serta definisi dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana Oleh Korporasi .

 

Berdasarkan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Senada, Pasal 1 Perma tersebut mendefinisikan korporasi sebagai kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisir, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.

Tags:

Berita Terkait