Pendekatan Ini Diusulkan Sebagai Jalan Tengah Pemulihan Hak Korban HAM
Berita

Pendekatan Ini Diusulkan Sebagai Jalan Tengah Pemulihan Hak Korban HAM

Antara korban dengan pelaku menggnakan pendekatan yang sifatnya budaya ataupun keagamaan melalui proses rekonsiliasi kultural.

Oleh:
Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi korban memperjuangkan hak. Ilustrator: HGW
Ilustrasi korban memperjuangkan hak. Ilustrator: HGW

Undang-Undang (UU) No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban mengamanatkan pemenuhan sejumlah hak korban, termasuk korban  HAM berat. Hak itu meliputi ha katas bantuan psikologis, bantuan medis, dan hak bantuan rehabilitasi psikososial. Dalam pelaksanaannya, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sebagai lembaga yang bertanggung jawab memenuhi hak korban tidak bisa berjalan sendiri karena membutuhkan antara lain peran Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

 

Dalam pelaksaan tanggung jawab pemenuhan hak korban , Komnas Ham berperan sebagai lembaga yang mengeluarkan surat keterangan korban. Surat ini laksana “tiket” bagi para korban sebelum mendapat penanganan LPSK. Sayangnya, Komnas HAM terbentur ketiadaan standar operasional yang menyebabkan proses diteribtkannya surat keterangan korban menjadi lebih lama. Masalah lainnya, dibutuhkan putusan pengadilan yang memberikan jaminan pemenuhan hak korban  HAM, seperti seperti kompensasi, rehabilitasi, serta restitusi.

 

Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsham), Wahyudi Djafar bahkan menyebutkan selama 15 tahun terakhir, tidak pernah lagi diselenggarakan pengadilan terhadap korban  HAM berat masa lalu. Durasi ini tentu sangat panjang bagi para korban  HAM berat yang menunggu kompensasi, rehabilitasi dan restitusi mereka dipenuhi, baik oleh negara maupun pelaku kejahatan HAM berat masa lalu. Tidak sedikit dari para korban yang saat ini renta.

 

(Baca juga: Affirmative Action (Diskriminasi Positif) dalam Penegakan HAM)

 

Untuk itu, kata Wahyudi, menjadi mendesak sifatnya bagi negara mencari jalan lain pemenuhan hak-hak tersebut selain menggunakan pendekatan yudisial dan politik yang memakan waktu. Pendekatan ekonomi, sosial, dan budaya (ekosob) merupakan salah satu pelengkap dari jalur penyelesaian politik dan hukum yang selama ini tersedia. Wahyudi mengakui pendekatan ekosob dalam rangka pemenuhan hak korban palangaran HAM masa lalu merupakan jalan yang kosprehensif dan multidimensi.

 

Pendekatan ekosob dibangun berdasarkan capaian-capaian gerakan yang selama ini dipakai. “Termasuk lamanya proses penyelesaian dan (memperhatikan) kondisi korban,” ujar Wahyudi, Selasa (18/9). Elemen-elemen yang terdapat dalam pendekatan ekosob mencakup kebijakan afirmasi, hak budaya, dan justisiabilitas ekosob.

 

Jika dilihat dari konten kebijakan afirmasi, sebenarnya pendekatan ini bukan hal baru. Karena bantuan medis dan psikologis yang menjadi komponen afirmatif action selama ini sudah menjadi  bagian dari yang dikerjakan LPSK. Namun jumlahnya masih sangat terbatas karena masih berdasarkan jumlah kasus yang telah diselidiki Komnas Ham berikut istrumen surat keterangan korban yang dikeluarkan oleh Komnas HAM.

 

Selain LPSK, telah ada sejumlah kepala daerah yang melakukan terbosan melalui kebijakan afirmatif dengan mengeluarkan peraturan daerah. Walikota Palu misalnya, mengeluarkan Peraturan Walikota Palu No. 25 Tahun 2013 tentang Rencana Aksi HAM Daerah Kota Palu. Di dalamnya secara khusus meberikan pengakuan terhadap korban peristiwa 1965/1966 di Kota Palu serta upaya pemulihan yang akan dilakukan. Selain Palu, ada pula upaya pelaksanaan kebijakan afirmasi di Kabupaten Sikka dan Surakarta.

Tags:

Berita Terkait