Menggalang 100 Ahli HTN Jadi Pihak Uji Materi Presidensial Treshold
Berita

Menggalang 100 Ahli HTN Jadi Pihak Uji Materi Presidensial Treshold

​​​​​​​Satu hal yang menguat saat ini adalah fenomena keterbelahan masyarakat akibat polarisasi dukungan terhadap pasangan calon yang jumlahnya hanya dua.

Oleh:
M Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: RES
Gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: RES

Ada hal menarik dalam sebuah focus grup disscussion (FGD) yang diselenggarakan di salah satu hotel di daerah Pecenongan, Jakarta (20/9) lalu. FGD ini bertujuan untuk menggugat konstitusionalitas ketentuan ambang batas pencalonan presiden (Presidential Treshold) dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Peserta FGD yang  terdiri dari pemohon uji materi Pasal 222 UU Pemilu, sejumlah akademisi, praktisi dan pegiat pemilu tersebut, berencana mengikutsertakan 100 orang ahli hukum tata negara yang berasal dari unsur akdemisi untuk memperkuat permohonan uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK).

 

Adalah Direktur Pusat Studi Hukum dan Konstitusi (Pushako) Universitas Andalas, Feri Amshari, oleh peserta FGD diamanahkan untuk menggalang dukungan 100 orang ahli hukum tata negara yang akan dimasukkan sebagai pihak terkait dalam permohonan hak uji materi ketentuan ambang batas pencalonan presiden tersebut. Sebagai tindaklanjut dari penunjukan tersebut, Feri saat ini tengah berkomunikasi dengan sejumlah pengkaji hukum tata negara, tentunya untuk membangun kesepahaman terkait konstitusionalitas presidential threshold.

 

“Kita sedang komunikasi dengan teman-teman pengkaji hukum tata negara bagaimana membangun kesepakatan,” ujar Feri kepada hukumonline, Jumat (21/9).

 

Menurutnya, membangun kesepakatan terkait beberapa hal ini penting dilakukan agar langkah mengikutsertakan 100 orang ahli tata negara bisa efektif sehingga dapat memberikan masukan dan dampak terhadap mahkamah dalam persidangan. Perkembangan selanjutnya bisa dilihat kurang lebih satu minggu ke depan.

 

Sebenarnya ketentuan ambang batas pencalonan presiden sebelumnya sudah pernah diuji. Partai Idaman, Partai Bulan Bintang (PBB), pengurus Advokat Cinta Tanah Air (ACTA), Effendi Gazali, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Kode Inisiatif, mantan Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay, Yuda Irlang, adalah sejumlah pihak yang pernah menguji norma pasal 222 UU Pemilu yang mengatur ambang batas pencalonan presiden ini.

 

Namun MK melalui putusannya Nomor 53/PUU-XV/2017 menolak pengujian norma ini. Kala itu MK mengacu kepada putusan MK sebelumnya Nomor 51-52-53/PUU-VI/2008 tentang uji materi Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden yang dianggap tidak relevan. MK menilai, ambang batas pencalonan presiden merupakan kebijakan yang sifatnya terbuka oleh para pembentuk undang-undang (open legal policy).

 

Dalam pertimbangan putusan MK Nomor 53/PUU-XV/2017, Mahkamah beralasan ambang batas pengusulan calon presiden dan wakil presiden sama sekali tidak berkaitan dengan keberadaan norma UU yang mengatur dipisahkannya penyelenggaraan pemilu legislatif dan pilpres. Justru, disatukannya keduanya untuk mewujudkan sistem pemerintahan yang ideal. Adanya ambang batas pencalonan presiden ini dinilai sudah mencerminkan legitimasi sosio-politik representasi masyarakat yang berbhineka. Karenanya, Pasal 222 UU Pemilu tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak bersifat diskriminasi.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait