Beginilah Pro-Kontra Penggunaan Pajak Rokok untuk BPJS Kesehatan
Utama

Beginilah Pro-Kontra Penggunaan Pajak Rokok untuk BPJS Kesehatan

Untuk jangka pendek, kebijakan ini dinilai tepat.

Oleh:
Fitri N. Heriani
Bacaan 2 Menit
Kantor layanan BPJS Kesehatan. Foto: HOL
Kantor layanan BPJS Kesehatan. Foto: HOL

Presiden Joko Widodo baru saja menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Perpres ini terbit dengan pertimbangan bahwa Perpres No. 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Perpres No. 28 Tahun 2016 tentang Perubahan Ketiga Atas Perpres No.12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan perlu disempurnakan. Tujuannya untuk meningkatkan kualitas dan kesinambungan program Jaminan Kesehatan.

Perpres ini diterbitkan sebagai jalan keluar untuk mengatasi defisit BPJS Kesehatan. Jika ditotal, prediksi defisit  Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan pada tahun 2018, termasuk di dalamnya pengalihan (carry over) defisit dari 2017, mencapai Rp10,98 triliun. Rencananya, penerimaan BPJS Kesehatan dari pajak rokok diperkirakan mencapai Rp5,51 triliun atau setara 75 persen dari 50 persen pajak rokok yang diterima daerah. Selama ini, pemanfaatan pajak rokok minimal 50 persen untuk mendanai pelayanan kesehatan dan penegakan hukum oleh aparat yang berwenang di daerah.

Presiden Jokowi menyebutkan bahwa Peraturan Presiden (Perpres) mengenai penggunaan cukai rokok untuk menutup defisit BPJS Kesehatan merupakan amanat Undang-Undang, yakni UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD). Pasal 31 UU PDRD menyebutkan pungutan atas pajak rokok dialokasikan (earmarked) paling sedikit sebesar 50% dan digunakan untuk mendanai program/kesehatan.

(Baca juga: DJSN Soroti 4 Masalah Jaminan Kesehatan Nasional).

Dalam rangka alokasi itu, Menteri Kesehatan Nila Djuwita F. Moeloek sudah menerbitkan payung hukum, yakni Peraturan Menteri Kesehatan No. 53 Tahun 2017 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Pajak Rokok untuk Pendanaan Pelayanan Kesehatan masyarakat. Beleid ini mengatur mengatur 75% dari earmark 50% Pajak rokok digunakan untuk pembiayaan Jaminan Kesehatan Nasional.

Beleid ini masih menimbulkan pro-kontra bahkan dilema. Di satu sisi, sebagai negara dengan jumlah perokok terbesar di dunia, yakni 67 persen dari total jumlah perokok laki-laki di seluruh dunia (data WHO), ada penerimaan yang cukup besar dari cukai dan pajak rokok yang bisa digunakan untuk pembiayaan layanan kesehatan. Penyakit yang disebabkan rokok adalah jenis penyakit yang paling banyak menghabiskan anggaran BPJS Kesehatan.

Merujuk ke data total beban penggunaan anggaran BPJS Kesehatan di Tahun 2017, dari total Rp54,47 triliun JKN, sebanyak Rp15,29 triliun atau 33,62 persen habis untuk membiayai penyakit katastropik (penyakit berbiaya tinggi) yang terdiri dari penyakit jantung (48 persen), gagal ginjal (20 persen), kanker (17 persen), stroke (8 persen), thalasemia (3 persen), chirrosis hepatitis (2 persen), leukemia (1 persen), haemofilia (1 persen). Penyebab paling dominan penyakit-penyakit katastropik tersebut, yang pada umumnya bisa dicegah, adalah konsumsi rokok.

(Baca juga: 5 Cara Ini Diusulkan untuk Atasi Defisit Jaminan Kesehatan Nasional).

Di sisi lain, kebijakan ini dikritik kelompok yang selama ini mengkampanyekan gerakan antirokok. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) misalnya. Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi, mengatakan pemerintah seolah menyuruh rakyat merokok untuk menutup defisit BPJS Kesehatan dengan mengalokasikan pajak rokok untuk badan tersebut.

Tags:

Berita Terkait