Mindset Advokat Indonesia tentang Pro Bono Harus Diubah
Utama

Mindset Advokat Indonesia tentang Pro Bono Harus Diubah

Sistem pendidikan di fakultas hukum dinilai sejak awal ‘money oriented’ turut bersumbangsih melestarikan kultur para lawyer enggan ber-pro bono.

Oleh:
Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit
Hukumonline gelar Pro Bono Roundtable 2018 yg bertempat di Hukumonline Training Center Jakarta, Jumat (21/9). Acara Pro Bono Roundtable 2018 tersebut diadakan Dengan tujuan untuk memberikan wadah berdiskusi bagi para penasihat hukum dalam melaksanakan program Pro Bono dan mencari solusi bersama dalam menghadapi tantangan dan permasalahan Pro Bono. Foto: RES
Hukumonline gelar Pro Bono Roundtable 2018 yg bertempat di Hukumonline Training Center Jakarta, Jumat (21/9). Acara Pro Bono Roundtable 2018 tersebut diadakan Dengan tujuan untuk memberikan wadah berdiskusi bagi para penasihat hukum dalam melaksanakan program Pro Bono dan mencari solusi bersama dalam menghadapi tantangan dan permasalahan Pro Bono. Foto: RES

Sekalipun Pasal 22 UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat telah mewajibkan lawyer untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma (probono) kepada masyarakat tak mampu, namun tak banyak lawyer yang betul-betul menjalankan perintah undang-undang tersebut.

 

Tak heran jika tak banyak advokat mau terlibat, mengingat kewajiban yang tercantum dalam pasal a quo tak bermuatan sanksi jika lawyer tak melakukan kewajiban pro bono. Tak hanya itu, sistem pendidikan di fakultas hukum yang dinilai sejak awal ‘money oriented’ turut bersumbangsih melestarikan kultur para lawyer enggan ber-pro bono.

 

Partner AKSET Law Firm, Kadri Mohamad Sutan Bandaro, mengakui bahwa akar persoalannya bermula dari kultur pro bono (budaya memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma) belum dirasakan di tengah para lawyer. Bahkan sejak di sekolah hukum-pun doktrin tujuan mahasiswa untuk jadi lawyer adalah cari uang, sehingga ‘cara berpikirnya’ kalau tidak untuk cari uang bukan firma hukum tempatnya, melainkan Lembaga Bantuan Hukum (LBH).

 

Mindset itulah yang sebetulnya harus diubah,” kata Kadri dalam acara Pro Bono Roundtable 2018 yang diselenggarakan di Hukumonline Training Center (21/9). Pro Bono Roundtable 2018 dihadiri oleh partner dan perwakilan sejumlah law firm di Jakarta yaitu Harvardy, Marieta & Mauren, RAP & Co. Law Office, SSEK, Ali Budiarjo, Nugroho, Reksodiputro, Hanafiah Ponggawa & Partners, Soemadipraja & Taher, Oentoeng Suria & Partners, Armand Yapsunto Muharamsyah & Partners, Assegaf Hamzah & Partners, Akset Law, Ivan Almaida Baely & Firmansyah Law Firm, ADCO Attorneys at Law.

 

(Baca Juga: Bedakan, Tak Semua Bantuan Hukum Bisa Disebut Pro Bono)

 

Ditambah lagi, kata Kadri, hingga saat ini belum ada sistem evaluasi untuk menilai lawyer dalam melakukan kegiatan pro bono, inilah yang juga mengakibatkan angka partisipasi lawyer dalam kasus-kasus pro bono sangat rendah. Seharusnya, kata Kadri, dalam Key Performance Indicator (KPI) itu dipersyaratkan pula kegiatan pro bono yang telah dilakukan lawyer, sehingga setidaknya ada faktor pendorong agar lawyer berlomba-lomba melakukan pro-bono.

 

“Karena selama ini, seringkali patokannya target hours klien, tujuannya bagaimana mencari klien berbayar sehingga yang melakukan pro bono itu sangat sedikit,” ungkap Kadri.

 

Diakui oleh associate firma hukum SSEK, Bezaliel Erlan, menurut penilaiannya selama 14 tahun menjadi corporate lawyer, sistem pro bono itu memang sudah salah sejak awal. Pasalnya, junior lawyer yang baru masuk di berbagai corporate lawfirm-pun sudah diberikan target hours. Artinya, sejak awal mereka sudah dididik untuk bekerja dengan orientasi komersil ketimbang mempraktikkan tugas profesi mereka sebagai profesi yang ‘officium nobile’.

Tags:

Berita Terkait