Pakar Farmasi Ini Beri Masukan atas RUU Pengawasan Obat
Berita

Pakar Farmasi Ini Beri Masukan atas RUU Pengawasan Obat

Melalui RUU ini, BPOM berharap bisa lebih mandiri dan bergerak cepat sebagai regulator pengawasan dan penegakan hukum di bidang peredaran obat dan makanan.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Gedung DPR. Foto: RES
Gedung DPR. Foto: RES

Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengawasan Obat dan Makanan (Waspom) mulai dilakukan panitia kerja (Panja) di Komisi X DPR. Menyerap masukan dari pakar menjadi salah satu mekanisme dalam upaya memperkuat materi penyusunan draf RUU. Salah satu poin penting yang menjadi sorotan terkait pendistribusian obat yang tidak menerapkan praktik distribusi yang baik.

 

Pernyataan ini disampaikan ahli farmasi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Iwan Dwiprahasto saat menyampaikan pandangannya di depan sejumlah anggota Panja RUU Waspom. “Praktik pendistribusian obat-obatan tidak menerapkan prinsip good distribution practice atau praktik pendistribusian yang baik,” ujar Iwan saat rapat dengar pendapat umum dengan Panja RUU Waspom di Komplek Gedung Parlemen, Senin (24/9/2018).

 

Dia menilai prinsip good distribution practice menjadi bagian penting dalam menyalurkan produk obat dan makanan ke masyarakat. Sebab, pendistribusian produk obat dan makanan sering terjadi praktik memainkan harga pasar. “Ini anomali dari aspek distribusi obat yang tidak menerapkan prinsip praktik pendistribusian yang baik karena kurangnya law enforcement,” ujarnya.

 

Praktik mekanisme pendistribusian yang menyediakan produk obat dan makanan dalam jumlah tertentu ini, pelaku usaha menetapkan harga yang tinggi. Belum lagi, pendistribusian obat ini mereka kerap pula melakukan praktik semi monopoli dengan pola perputaran dan komsumsi cepat agar cepat mengambil keuntungan.

 

Menurut Iwan, tindakan pelaku usaha seperti ini menjadi bagian dari faktor/sebab munculnya kelangkaan obat dan ketersediaan stok obat. Contoh lain, seringkali terjadi tindakan tidak lazim di sektor penyediaan layanan kesehatan. Misalnya, penggunaan obat secara off label, obat di luar indikasi yang tertera dalam label atau di luar persetujuan badan atau lembaga yang berwenang, dalam hal ini Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

 

Selain itu, tindakan (tenaga kesehatan) memberikan resep obat agar dapat memperoleh upah, hingga menggunakan obat demi mengintimidasi pasien. Ironisnya, masih terjadinya penjualan obat secara individu layaknya apotik dan memberikan resep obat yang berstatus off label. Menurutnya, tindakan tersebut merupakan bentuk penyimpangan dan dapat diproses secara hukum.

 

Masih tumpang tindih

Wakil Ketua Komisi IX Saleh Partonan Daulay mengakui beragam persoalan yang disampaikan Iwan. Sebab, praktik di lapangan memang demikian. Hal ini disebabkan proses penegakan hukum di sektor ini antara kepolisian dengan pihak BPOM masih tumpang tindih termasuk kewenangan Kementerian Kesehatan. Misalnya, ketika BPOM atau Kementerian Kesehatan menemukan indikasi adanya dugaan peredaran obat palsu, keduanya tidak dapat melakukan penindakan secara langsung.

Tags:

Berita Terkait