‘Faktor Kunci’ Kesuksesan Land Reform dari Guru Besar Emeritus University of Washington
Berita

‘Faktor Kunci’ Kesuksesan Land Reform dari Guru Besar Emeritus University of Washington

Kurang berhasilnya land reform biasanya diakibatkan oleh kurang kuatnya political will (kemauan politik untuk melakukan perubahan) atau implementasi kebijakan yang kurang efektif.

Oleh:
Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit
Guru besar Emeritus University of Washington, Roy L. Prosterman (kiri). Foto: HMQ
Guru besar Emeritus University of Washington, Roy L. Prosterman (kiri). Foto: HMQ

Sudah 58 tahun UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) berlaku, namun  ketimpangan penguasaan, penggunaan dan pemafaatan lahan yang tak berkeadilan masih saja menjadi persoalan serius bagi petani Indonesia.  Hingga akhirnya tepat pada 24 September 2018 (Hari Tani/Hari Agraria Nasional dan Tata Ruang), Presiden Joko Widodo menandatangani Perpres No. 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria.

 

Guru besar Emeritus University of Washington, Roy L. Prosterman, mengapresiasi keseriusan pemerintah Indonesia dalam membenahi penataan soal kepemilikan dan penguasaan tanah melalui ditandatanganinya Perpres No. 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria. Menurutnya, faktor kunci keberhasilan reforma agraria harus mampu mengentaskan persoalan kemiskinan ekstrim dan meluas di kalangan para petani yang mayoritas disebabkan oleh status landless atas tanah garapannya.

 

Dalam penelitian Prosterman tentang reformasi pertanahan di tahun 2006 bersama Tim Hanstad, setidaknya terdapat 3 kelompok landless yang harus diperhatikan sebagai penerima manfaat atas redistribusi lahan melalui skema land reform yang ditetapkan pemerintah. Pertama, keluarga pedesaan yang sumber utama penghasilannya berasal dari bertani, namun tak mempunyai status kepemilikan atas tanah yang digarapnya (landless).

 

Sebagian besar petani ini, kata Prosterman, akan mencari nafkah dengan menyewa tanah orang lain dan membayar biaya sewa yang tinggi untuk lahan yang begitu kecil atau dalam kasus lainnya mereka bekerja sebagai buruh tani dengan upah yang sangat rendah.

 

“Hidupnya hanya bergantung pada garapan tanah milik orang lain dan itu sumber utama mata pencariannya, makan sehari-hari juga bergantung pada hasil garapannya sehingga wajar jika angka kesejahteraannya sangat rendah,” kata Prosterman dalam diskusi dengan topik “Seputar Reformasi Agraria dan Kebijakan Pertanahan di Indonesia” yang diselenggarakan STH Indonesia Jentera, Selasa (25/9).

 

Kedua, keluarga pedesaan yang tinggal di wilayah pertanian negara komunis atau negara bekas jajahan komunis. Ketiga, keluarga pedesaan yang menempati tanah publik namun tak memiliki hak yang diakui secara formal atas tanah yang ditempatinya.

 

Untuk kelompok yang menempati tanah publik, kata Prosterman, jaminan keamanan atas tanah garapannya selalu tak pasti mengingat akan selalu ada potensi tanah tersebut digusur/diambil alih kembali oleh negara ketika sewaktu-waktu membutuhkan tanah tersebut.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait