7 Masalah Kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional Berpotensi Hambat Target Universal Health Coverage
Berita

7 Masalah Kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional Berpotensi Hambat Target Universal Health Coverage

Potensi kepesertaan badan usaha belum digarap penuh.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Layanan BPJS. Foto: RES
Layanan BPJS. Foto: RES

Pemerintah telah menetapkan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) menjadi salah satu program kebijakan strategis nasional. Tahun 2019 pemerintah menargetkan kepesertaan JKN mencapai cakupan semesta atau universal health coverage (UHC) sebanyak 257,5 juta peserta. Mencapai target itu tidak mudah, karena ada banyak persoalan yang harus dibenahi.

Peneliti sekaligus pendiri Lokataru, Atnike Nova Sigiro, mengatakan salah satu persoalan yang menghambat tercapainya UHC berkaitan dengan kepesertaan JKN. Ia mencatat seidaknya tujuh persoalan kepesertaan yang berpotensi menghambat pelaksanaan jaminan kesehatan, khususnya target universal health coverage.

Pertama, pengaturan kepesertaan menentukan akses peserta untuk mendapat pelayanan kesehatan. Menurutnya, masih ada masyarakat kategori tidak mampu tapi belum menjadi peserta penerima bantuan iuran (PBI). Untuk menentukan siapa yang berhak menjadi PBI menurut Atnike pada praktiknya tidak mudah. Ada beberapa hal yang patut dicermati seperti bantuan iuran, prosedur birokrasi, dan kualitas administrasi kependudukan.

Kedua, masih ada kekosongan aturan mengenai kepesertaan, khususnya terhadap kelompok rentan seperti bayi baru lahir, penyandang disabilitas, dan korban kekerasan. Sebelum Perpres No. 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan terbit, ada aturan yang mewajibkan peserta non PBI untuk mendaftarkan bayi dalam kandungan. Padahal, hak bayi yang baru dilahirkan melekat pada ibunya atau orang tuanya.

(Baca juga: Bayi di Kandungan Dapat Didaftarkan Jadi Peserta BPJS).

Ketiga, tidak ada insentif bagi peserta bukan penerima upah (PBPU) atau peserta mandiri. Atnike melihat denda dan sanksi dikenakan kepada peserta non PBI yang telat membayar iuran. JKN tidak menjamin pelayanan kesehatan peserta yang menunggak. Begitu pula ketika status peserta beralih, misalnya dari PPU menjadi mandiri. Sepatutnya BPJS Kesehatan masih menjamin hak peserta dan keluarganya untuk mendapat pelayanan kesehatan. Lokataru mengusulkan agar peserta PPU yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) otomatis langsung beralih menjadi PBI.

Keempat, analisis gender dalam kepesertaan BPJS Kesehatan. Atnike menyebut kepesertaan JKN berbasis kartu keluarga (KK) dan nomor rekening suami. Kebijakan itu menyulitkan kaum perempuan terutama korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) untuk mengakses layanan kesehatan karena basis KK adalah identitas suami sebagai kepala keluarga.

Kelima, kepesertaan berbasis KK rumit secara administratif. Akibatnya, setiap perubahan atau masalah yang dihadapi salah satu anggota keluarga akan berdampak pada anggota keluarga lainnya yang tercantum dalam KK. “Jika satu anggota keluarga menunggak, maka seluruh anggota keluarga tidak dapat mengakses layanan kesehatan,” kata Atnike dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (28/9).

Tags:

Berita Terkait