Jika Iuran JKN Tidak Naik, Dana Ini yang Harus Dipersiapkan Pemerintah
Berita

Jika Iuran JKN Tidak Naik, Dana Ini yang Harus Dipersiapkan Pemerintah

BPJS Kesehatan tetap berpotensi mengalami defisit karena selama dua tahun ini terakhir tidak naik.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Layanan BPJS Kesehatan. Foto: HOL
Layanan BPJS Kesehatan. Foto: HOL

Terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) No. 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan diharapkan mampu membenahi penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang telah bergulir sejak 1 Januari 2014. Salah satu persoalan yang dialami BPJS Kesehatan dalam mengelola dana jaminan sosial (DJS) program JKN adalah kurangnya anggaran untuk membiayai pelayanan kesehatan yang sudah diberikan fasilitas kesehatan (faskes) kepada peserta.

Anggota DJSN, Asih Eka Putri, mengatakan Perpres No. 82 Tahun 2018 tidak menaikan besaran iuran Jaminan Kesehatan Nasional. Padahal itu dapat menjadi solusi untuk mengatasi defisit DJS JKN. Untuk mengantisipasi defisit yang masih terus terjadi, Asih mengingatkan pemerintah untuk menyiapkan dana cadangan yang cukup untuk membantu BPJS Kesehatan.

Asih melihat defisit yang dihadapi jumlahnya lebih besar karena selama dua tahun terakhir ini besaran iuran tidak pernah naik, harga obat meningkat, begitu pula pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS akan mempengaruhi biaya pelayanan kesehatan. “Kami memantau defisit yang dialami BPJS Kesehatan tahun 2017 mencapai Rp16 triliun, kemungkinan ke depan defisit akan lebih besar jumlahnya,” katanya ketika dihubungi di Jakarta, Rabu (26/9).

Asih mengatakan klaim rasio JKN untuk saat ini sekitar 120 persen, klaim rasio itu harusnya 90 persen. Untuk menyehatkan keuangan DJS, Asih menilai yang penting dilakukan yakni merasionalkan besaran iuran dengan manfaat yang diterima peserta. Kemudian, pemerintah harus memperkuat dana cadangan untuk membantu DJS program JKN.

(Baca juga: Daerah Khawatirkan Sanksi Jika Tak Anggarkan Program JKN).

Kepala Humas BPJS Kesehatan, Muhammad Iqbal Anas Ma’ruf, mengatakan program JKN ini dalam jangka panjang harus mandiri, sehingga besaran iurannya layaknya seperti yang diusulkan DJSN atau sesuai perhitungan aktuaria. “BPJS Kesehatan berkoordinasi dengan semua pihak terkait untuk mencari solusi atas persoalan yang terjadi. Kami harap program ini menjadi perhatian bagi semaua pihak, agar bisa berjalan lebih baik lagi,” ujarnya.

Koordinator advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, mengkritik sejumlah ketentuan dalam Perpres JKN yang mestinya bisa mengatasi persoalan defisit JKN. Misalnya, BPJS Kesehatan harus mengoptimalkan penarikan iuran dari badan usaha. Sebagaimana putusan MK bernomor 70/PUU-IX/2011, Timboel mengingatkan BPJS Kesehatan untuk bisa menerima pekerja yang mendaftar sendiri karena perusahaan tidak mau mendaftarkan pekerja yang bersangkutan dan keluarganya dalam program JKN. Artinya, BPJS bisa menagih iuran ke perusahaan yang mempekerjakan. “Tugas BPJS Kesehatan menagih iuran dari perusahaan yang tidak patuh itu,” urainya di Jakarta, Senin (1/10).

Ketika pekerja dalam proses pemutusan hubungan kerja (PHK), Timboel mengusulkan BPJS Kesehatan untuk membolehkan pekerja itu membayar sendiri iurannya sebesar 1 persen. BPJS Kesehatan bertugas menagih iuran sisanya sebesar 4 persen kepada pemberi kerja. Upaya itu perlu dilakukan karena faktanya banyak perusahaan yang tidak menunaikan kewajiban membayar iuran JKN untuk pekerjanya yang menjalani proses PHK.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait