Menelisik RUU Penyadapan �Usulan DPR
Kolom

Menelisik RUU Penyadapan �Usulan DPR

​​​​​​​Dalam solusi teknis seharusnya diatur kewenangan penyidik dalam keadaan mendesak penyadapan dapat dilakukan tanpa izin tertulis dari Ketua Pengadilan Tinggi terlebih dahulu.

Bacaan 2 Menit
Reda Manthovani. Foto: Istimewa
Reda Manthovani. Foto: Istimewa

Saat ini di Indonesia terjadi pluralitas pengaturan tindakan penyadapan untuk kepentingan penegakan hukum dan kepentingan keamanan nasional yang terdiri dari 15 undang-undang, satu peraturan pemerintah, satu peraturan menteri dan satu peraturan Kapolri akan menimbulkan berbagai perbedaan penafsiran baik dari sudut pandang aparat penegak hukum maupun masyarakat.

 

Ketiadaan aturan yang seragam dalam melakukan penyadapan menjadi pemantik agar dibuat aturan berupa UU yang bersifat lex spesialis. Terlebih lagi saat ini tata cara  penyadapan masih dilakukan di tingkat Peraturan Menteri Kominfo melalui standar operasional prosedur. Mengamini putusan MK nomor 006/PUU-I/2003 tanggal 29 Maret 2004, Putusan Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 tanggal 18 Desember 2006 dan putusan Nomor 5/PUU-VIII/2010 tanggal 24 Februari 2011 DPR mengagas RUU tentang Penyadapan.

 

Pembentukan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penyadapan sejatinya sebagai amanat dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Sebanyak tiga putusan yang saling menguatkan satu sama lain yang mengharuskan penyadapan dan perekaman pembicaraan dapat dilakukan sepanjang diatur dalam aturan setingkat undang-undang.

 

Melalui Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2018, DPR menempatkan RUU tentang Penyadapan dalam urutan 40. DPR sepertinya bergerak cepat dengan menyusun draf yang dilakukan oleh Badan Keahlian (BK), kendatipun di tahun politik. Oleh Baleg, draf per tanggal 20 September dilakukan penyempurnaan dengan dibahas dan  meminta masukan dari berbagai pemangku kepentingan.

 

Dalam rangka mengetahui apa dan bagaimana RUU tersebut mengatur tentang penyadapan, selaku penulis buku yang berjudul “Penyadapan versus Privasi”  tergelitik untuk  memberikan masukan. Mengingat pengaturan praktik tindak penyadapan di berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia acapkali melanggar prinsip equality before the law yang diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945.

 

Selain itu, penggunaan peraturan di bawah undang-undang untuk mengatur hukum acara atau tata cara tindakan penyadapan dipandang telah  melanggar Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945. Dimana tiga putusan MA yang intinya menilai, penyadapan dan perekaman pembicaraan merupakan pembatasan/pengurangan HAM (hak asasi manusia). Maka Pembatasan dimaksud hanya dapat dilakukan melalui undang-undang, sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945.

 

Nah, melalui RUU Penyadapan itulah nantinya dirumuskan penyadapan untuk kepentingan penegakan hukum dan untuk keamanan nasional. Kemudian siapa pihak yang berwenang menerbitkan perintah penyadapan dan perekaman pembicaraan. Pertanyaan kemudian, untuk penegakan hukum, apakah perintah penyadapan dan perekaman pembicaraan itu baru dapat dikeluarkan setelah diperoleh bukti permulaan yang cukup. Atau dilakukan dalam rangka mencari bukti? Dan bagaimana urgensi penyadapan untuk keamanan nasional dilakukan?

Tags: