Urgensi PP tentang Prosedur Penanganan Kasus Pekerja Migran
Berita

Urgensi PP tentang Prosedur Penanganan Kasus Pekerja Migran

Pemerintah tengah menjalankan program desmigratif bertujuan melindungi pekerja migran dan keluarganya yang akan dan setelah bekerja dari luar negeri melalui 4 pilar utama yakni pusat layanan migrasi; kegiatan usaha produktif; community parenting; dan pembentukan koperasi desmigratif.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi pelayanan untuk buruh migran di bandara. Foto: SGP
Ilustrasi pelayanan untuk buruh migran di bandara. Foto: SGP

Hampir setahun UU No. 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) disahkan sejak Oktober 2017. Namun, implementasi UU PPMI ini belum optimal dalam upaya perlindungan maksimal terhadap tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Hal ini disebabkan belum adanya aturan teknis setingkat peraturan pemerintah (PP) terkait tata cara/prosedur perlindungan buruh migran baik sebelum, saat, dan setelah bekerja di luar negeri.  

 

“PP khusus (tata cara prosedur) penanganan kasus-kasus pekerja migran (sebagai bentuk perlindungan) semestinya segera dibuat, sehingga ada acuan standar operasional prosedur saat menangani kasus buruh migran di luar negeri yang semakin meningkat,” ujar Anggota Tim Pengawas PPMI Rieke Diah Pitaloka di Komplek Gedung DPR, Rabu (3/10/2018).    

 

Rieke menegaskan PP khusus tersebut menjadi acuan dalam penanganan pekerja migran yang mengalami permasalahan dengan pemberi kerja di negara penempatan. Dalam hal tata cara penanganan kasus ini, Rieke mengusulkan mesti ada pembagian tugas dan peran pemerintah pusat dan daerah untuk mengatur layanan terpadu satu atap (LTSA) dan pengawasannya. Misalnya, menyediakan desk penanganan pengaduan kasus yang dialami pekerja migran.

 

Dia mengakui pemerintah sudah membangun 24 LTSA yang terdapat bagian khusus yang menangani kasus pekerja migran. Rencananya, pemerintah bakal membangun sebanyak 21 LTSA baru. Hanya saja, PP khusus tata cara perlindungan buruh migran sebelum, selama, dan setelah bekerja di luar negeri, sebagai pedoman teknis menangani kasus-kasus buruh migran ini belum ada.

 

“Nantinya, PP itu dapat memudahkan penanganan kasus pekerja migran,” kata politisi PDIP ini.  

 

Menurutnya, UU PPMI lebih banyak mengatur persyaratan dan mekanisme penempatan pekerja migran di luar negeri. Sementara tata penanganan kasus-kasus buruh migran yang bermasalah termasuk fungsi pengawasannya yang terbilang lemah. “Kalau pemerintah terus fokus pada penempatan berarti terjebak pada penerapan sistem modern,” ujarnya. Baca Juga: Implementasi Perlindungan Pekerja Migran Terganjal Aturan Pelaksana

 

UU PPMI mengamanatkan pembentukan PP perlindungan buruh migran:

Pasal 20

“Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian Perlindungan Sebelum Bekerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 19 diatur dengan Peraturan Pemerintah.”

Pasal 23

”Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian Perlindungan Selama Bekerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 28

“Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian Perlindungan Setelah Bekerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 sampai dengan Pasal 27 diatur dengan Peraturan Pemerintah.”

 

Sebelumnya, Ketua Komisi IX Dede Yusuf Macan Effendi mendesak pemerintah agar segera menerbitkan PP dari UU PPMI. Pasalnya ketiadaan PPMI berdampak besar terhadap implementasi UU PPMI. Selain itu  ketiadaan pengaturan koordinasi antar instansi menjadikan persoalan ketika menghadapi masalah pekerja migran yang menghadapi persoalan di negara tempatnya bekerja. Dengan kata lain, implementasi perlindungan pekerja migran bakal terkendala.

Tags:

Berita Terkait