Relasi Pelaku Ekonomi dan Politik Picu Korupsi di Daerah
Berita

Relasi Pelaku Ekonomi dan Politik Picu Korupsi di Daerah

Jika dua hal di atas tidak diselesaikan (dengan solusi) akan semakin sulit mengurai ‘benang kusut’ korupsi politik di daerah. KPK meminta agar posisi APIP diperkuat dan tidak di bawah kepala daerah melalui RUU Sistem Pengawasan Intern Pemerintah.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit
Jubir KPK Febri Diansyah. Foto: RES
Jubir KPK Febri Diansyah. Foto: RES

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat telah melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap 34 kepala daerah sejak 2012 hingga saat ini. Terakhir, KPK pada Jumat (5/10) telah menetapkan Wali Kota Pasuruan 2016-2021 Setiyono sebagai tersangka penerima suap terkait proyek-proyek di lingkungan Pemerintah Kota Pasuruan Tahun Anggaran 2018.

 

"Sejak 2012, hingga tangkap tangan terhadap Wali Kota Pasuruan kemarin, KPK telah melakukan OTT terhadap 34 kepala daerah dengan beragam modus. Namun, semua kepala daerah ini ditangkap dalam kasus suap," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Minggu (7/10/2018) seperti dikutip Antara.

 

Febri mengatakan penerimaan uang sebagai fee proyek merupakan modus yang menonjol pada hampir semua kasus tersebut. "Namun, ada beberapa yang menerima uang terkait perizinan, pengisian jabatan di daerah, dan pengurusan anggaran otonomi khusus," kata Febri.

 

Menurutnya, praktik buruk korupsi dalam bentuk suap itu tentu merusak tujuan proses demokrasi lokal termasuk pilkada serentak yang diharapkan dapat menghasilkan pemimpin yang lebih berorientasi pada kepentingan rakyat, bukan hanya untuk mengumpulkan kekayaan pribadi dan pembiayaan politik.

 

"Negara dirugikan berkali-kali ketika praktik suap kepala daerah terus terjadi," tutur Febri. Baca Juga: Terpilihnya Tersangka Korupsi di Pilkada 2018 Hambat Kemajuan Daerah

 

Selain proses kontestasi politik dengan biaya penyelenggaraan yang mahal, lanjut Febri, praktik suap memicu persaingan tidak sehat antarpelaku usaha di daerah. Ia mencontohkan ada satu perusahaan mendapat proyek lebih karena kemampuan menyuap pejabat dibanding kompetensi mengerjakan proyek tersebut. 

 

"Akibat lain, uang suap itu akan dihitung sebagai biaya proyek, sehingga berisiko mengurangi kualitas bangunan, jembatan, sekolah, peralatan kantor, rumah sakit, dan lain-lain yang dibeli. Pada akhirnya yang menjadi korban adalah masyarakat," lanjutnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait