Pentingnya Etika Jabatan Negara-Publik dalam Sistem Terpadu
Utama

Pentingnya Etika Jabatan Negara-Publik dalam Sistem Terpadu

Jimly usul perlu dibentuknya satu Mahkamah Kehormatan yang sejajar dengan keberadaan MK dan MA atau meningkatkan peran dan kapasitas KY menjadi institusi puncak sistem penegakan kode etik pejabat negara dan pejabat publik melalui perubahan UUD 1945. Nantinya, tugas dan kewenangannya, serta aspek pendukungnya diatur dalam UU.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Prof Jimly Asshiddiqie saat memaparkan makalahnya dan narasumber lain dalam seminar Peran Lembaga Etik dalam Menjaga dan Mengawasi Perilaku Etik Pejabat Publik di Komplek Gedung Parlemen, Senin (8/10). Foto: RFQ
Prof Jimly Asshiddiqie saat memaparkan makalahnya dan narasumber lain dalam seminar Peran Lembaga Etik dalam Menjaga dan Mengawasi Perilaku Etik Pejabat Publik di Komplek Gedung Parlemen, Senin (8/10). Foto: RFQ

Jabatan negara dan jabatan publik memiliki makna yang berbeda. Namun, praktiknya kedua jenis jabatan tersebut mesti diawasi pelaksanaannya melalui sistem etika yang mengikat terhadap orang yang menjadi pejabat publik dan negara. Karenanya, etika terhadap jabatan publik dan jabatan negara mesti dilembagakan dalam satu sistem yang terpadu.

 

Pandangan itu disampaikan Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof Jimly Asshiddiqie dalam sebuah seminar bertajuk, “Peran Lembaga Etik dalam Menjaga dan Mengawasi Perilaku Etik Pejabat Publik” di Komplek Gedung Parlemen, Senin (8/10/2018).

 

Jimly mengatakan maraknya pejabat publik yang tersandung kasus hukum menunjukan betapa lemahnya pengawasan dalam ranah sistem hukum. Tak hanya persoalan hukum, masalah etika-etika yang berlaku dalam jabatan negara atau publik seringkali tak diindahkan. Karena itu, perlunya penguatan pengawasan etika di masing-masing institusi agar dapat menjaga marwah lembaga negara dan jabatan negara/publik yang diembannya.

 

“Agenda pertama dan utama yang perlu mendapat prioritas adalah pembenahan, penataan, dan pengintegrasian sistem etika kenegaraan secara terpadu,” ujar Jimly. Baca Juga: Konvensi Etika Bernegara Bakal Jadi Sistem Terpadu

 

Menurutnya, keterpaduan sistem etika jabatan publik dalam rangka mewujudkan sistem etika berbangsa sebagaimana termuat dalam Ketetapan MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Khusus etika kenegaraan, usul Jimly, dapat dibatasi pengertiannya sepanjang jabatan-jabatan terkait fungsi pemerintahan dan kenegaraan dalam arti luas dan sempit sebagaimana diatur dalam UU.

 

Definisi pejabat publik pertama kali, kata Jimly, awalnya termuat dalam UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Pasal 1 angka 8 UU KIP menyebutkan, “Pejabat publik adalah orang yang ditunjuk dan diberi tugas untuk menduduki posisi atau jabatan tertentu pada badan publik.”

 

Sedangkan definisi pejabat negara tertuang dalam Pasal 1 ayat (4) UU No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU No.8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, “Pejabat Negara adalah pimpinan dan anggota lembaga tertinggi/tinggi negara sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-undang Dasar 1945 dan Pejabat Negara yang ditentukan oleh Undang-undang.”

Tags:

Berita Terkait