Mahkamah Agung, Corong Undang-Undang?
Kolom

Mahkamah Agung, Corong Undang-Undang?

​​​​​​​Ketentuan yang mengatur tentang hak politik warga negara, merupakan norma hukum baru yang tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu UU Pemilu.

Bacaan 2 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Larangan mantan narapidana untuk mencalonkan diri dalam pemilu sudah beberapa kali diatur dalam Undang-Undang. Pertama, tercantum pada UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Kedua, diatur oleh UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Pemerintahan Daerah.

 

Ketiga, dimuat dalam UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi UU. Keempat, diatur oleh  UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi UU.

 

Berbagai pengaturan mengenai larangan narapidana mencalonkan diri dalam ajang pemilihan umum terlihat bahwa tujuan dari UU untuk mewujudkan penyelenggaraan pemilu yang bersih. Permasalahan ini kemudian menjadi bola panas, karena  ketidaksinkronan pemikiran yang berkembang di antara para pihak terkait pemilu.

 

Muncullah uji materiil ke Mahkamah Agung terhadap Pasal 4 ayat (3), Pasal 7 huruf g Peraturan Komisi Pemilihan Umum (Peraturan KPU) Nomor 20 Tahun 2018 dan Pasal 60 huruf j Peraturan KPU Nomor 26 Tahun 2018 yang dinilai bertentangan dengan Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu. Uji materil di Mahkamah Agung nyaris terhambat karena beberapa ketentuan Undang-Undang pemilu masih dalam proses uji materill juga di Mahkamah Konstitusi. Namun karena materi yang sedang diuji ke MA, bukanlah substansi yang diuji kepada MK, maka proses lanjut. Kelanjutan proses penting untuk kepastian hukum.

 

Kompleksitas permasalahan larangan pencalonan mantan narapidana korupsi telah diselesaikan oleh Mahkamah Agung via putusan 45P/HUM/2018 yang membatalkan Pasal 4 ayat (3), Pasal 7 huruf g Peraturan KPU No. 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD Kabupaten/kota dan Pasal 60 huruf j Peraturan KPU No. 26 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPD terkait larangan mantan narapidana kasus korupsi, bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, menjadi bakal calon anggota legislatif (bacaleg) dalam Pemilu 2019, yang pada prinsipnya juga sama dengan Putusan 46P/HUM/2018.

 

Sepanjang frasa “mantan terpidana korupsi” bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu dengan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum juncto UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, mantan narapidana boleh nyaleg.

 

Mahkamah Konstitusi dalam Putusan 011-017/PUU-I/2003, menyebutkan, mengenai hak yang dijamin oleh Konstitusi yaitu Pasal 28 J ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang memuat ketentuan dimungkinkannya pembatasan hak dan kebebasan seseorang dengan undang-undang.

Tags:

Berita Terkait