Jimly Minta RUU Etika Penyelenggaraan Negara Segera Dibahas
Berita

Jimly Minta RUU Etika Penyelenggaraan Negara Segera Dibahas

RUU tentang Etika Penyelenggara Negara sudah tercatat dalam daftar RUU Prolegnas lima tahunan periode 2014-2019 dengan nomor urut 28 dari 160 RUU.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Prof Jimly Asshiddiqie saat memaparkan makalahnya dan narasumber lain dalam seminar Peran Lembaga Etik dalam Menjaga dan Mengawasi Perilaku Etik Pejabat Publik di Komplek Gedung Parlemen, Senin (8/10). Foto: RFQ
Prof Jimly Asshiddiqie saat memaparkan makalahnya dan narasumber lain dalam seminar Peran Lembaga Etik dalam Menjaga dan Mengawasi Perilaku Etik Pejabat Publik di Komplek Gedung Parlemen, Senin (8/10). Foto: RFQ

Melembagakan etika pejabat negara dan pejabat publik yang mengikat dalam satu sistem terpadu dan terintegrasi sesuatu hal yang penting dirumuskan. Pasalnya, masalah pengawasan dan penegakan etika pejabat negara dan publik yang berlaku di masing-masing lembaga dirasa kurang efektif. Untuk itu, diusulkan sebuah pengaturan kelembagaan etik secara seragam dalam bentuk Undang-Undang   

 

“Karenanya, Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Etika Penyelenggaraan Negara sedapat mungkin masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2019 mendatang,” ujar Guru Besar Hukum Tata Negara FH UI Prof Jimly Asshiddiqie saat berbicara sebuah seminar nasional bertajuk “Peran Lembaga Etik dalam Mengawasi dan Menjaga Perilaku Etik Pejabat Publik” di Komplek Gedung Parlemen, Senin (8/10/2018).

 

“Saya rasa memang harus diintegrasikan dan kita fokus pada pembahasan RUU tentang Etika Penyelenggaraan Negara dalam Prolegnas Prioritas 2019 mendatang,” harapnya. Baca Juga: Pentingnya Etika Jabatan Negara-Publik dalam Sistem Terpadu

 

Meski begitu, Jimly memberi catatan atas sejumlah persoalan yang mesti disepakati saat menyusun dan membahas RUU Etika Penyelenggaraan Negara ini. Sebab, pengaturan ruang lingkup pejabat negara masih terbatas. Misalnya, status pejabat negara sudah diatur UU atau Peraturan Pemerintah. Tetapi, faktanya pejabat tersebut belum disebut sebagai pejabat negara karena belum dapat tunjangan sebagai pejabat negara.

 

“Khususnya terhadap pejabat Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Apalagi, banyak pejabat di KPU mulai tingkat pusat hingga daerah,” ujar Jimly mencontohkan.

 

Menurutnya, pejabat negara semestinya berlaku mulai tingkat lurah, camat hingga presiden. Sebab, mereka memberi pelayanan masyarakat mengatasnamakan negara. Selain itu, mekanisme penegakan hukum sekaligus sebagai penegakan etika terhadap pejabat yang diduga melanggar. Namun, patut diingat tidak semua pelanggaran etika dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukuman.

 

“Tak sedikit seseorang yang sudah diganjar hukuman pidana berkekuatan hukum tetap oleh pengadilan, justru berbeda penilaian dengan majelis peradilan etik. Bisa jadi majelis peradilan etik justru menilai tak adanya pelanggaran etika.”

Tags:

Berita Terkait