PP Penghargaan Pelapor Korupsi Butuh Aturan Internal Penegak Hukum
Berita

PP Penghargaan Pelapor Korupsi Butuh Aturan Internal Penegak Hukum

Parameter penilaian kualitas laporan perlu dituangkan dalam aturan internal masing-masing institusi penegak hukum, termasuk mekanisme jaminan perlindungan terhadap pelapor yang masuk kewenangan LPSK.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Arsul Sani (tengah) dan Abdul Fickar Hadjar (kanan) dalam sebuah diskusi di Komplek Gedung Parlemen, Jumat (12/10). Foto: RFQ
Arsul Sani (tengah) dan Abdul Fickar Hadjar (kanan) dalam sebuah diskusi di Komplek Gedung Parlemen, Jumat (12/10). Foto: RFQ

Keberadaan Peraturan Pemerintah No 43 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menggantikan PP No. 71 Tahun 2000. Sayangnya, PP 43/2018 dipandang masih mengandung kekurangan. Karena itu, guna melengkapi PP tersebut dapat dibuat peraturan teknis di internal lembaga penegak hukum.

 

“Ini cuma perlu penyempurnaan saja, ini (PP itu) artinya perlu lebih didetillkan lagi,” ujar Anggota Majelis Permusyawaratan  Rakyat (MPR) dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) Arsul Sani dalam sebuah diskusi  Empat Pilar di Komplek Gedung Parlemen, Jumat (12/10/2018). Baca Juga: Tak Jamin Kerahasiaan, PP Penghargaan Pelapor Korupsi Menuai Kritik

 

Dia mengakui PP 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan telah dicabut setelah berlakunya PP 43/2018. Namun, dia meminta agar kekurangan PP 43/2018 tidak perlu dipolitisir. Sebab, PP tersebut sebenarnya hanya menyempurnakan PP sebelumnya, khususnya soal bentuk bentuk penghargaan dan premi bagi pelapor korupsi dengan menyebutkan angka nominal. 

 

“Memang PP 43/2018 masih terdapat kekurangan yang perlu dilengkapi agar lebih mendorong peran serta masyarakat dalam upaya pencegahan korupsi,” kata Arsul.

 

Dia juga khawatir berlakunya PP tersebut berpotensi bakal lahir banyak laporan dari masyarakat atau kelompok yang menamakan lembaga swadaya masyarakat bergerak di bidang korupsi. Bahkan dimungkinkan, kualifikasi laporan dan kelembagaanya pun tidak jelas. Hal ini bisa dimanfaatkan lantara mendapatkan premi hingga ratusan juta jika melaporkan dugaan korupsi ke lembaga penegak hukum.

 

Karena itu, berbagai kekurangan dalam PP 43/2018 ini perlu diantisipasi dengan peraturan internal di kepolisian dengan Peraturan Kapolri; Kejaksaan Agung dengan Peraturan Jaksa Agung; dan KPK dengan Peraturan KPK. “Menurut saya ini perlu diatur lebih lanjut dengan aturan internal penegak hukum, karena PP ini belum detil,” katanya.

 

Terkait PP 43/2018 belum mengatur jaminan perlindungan, keamanan, dan identitas pelapor secara tegas, kata Arsul, hal ini mengacu pada UU No.31 Tahun 2014 tentang Perubahan Pertama atas UU No.13 Tahun 2006 tentang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Sebab, jaminan keamanan, perlindungan saksi dan korban menjadi kewenangan LPSK.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait