Catatan Pokja Implementasi UU Penyandang Disabilitas atas Penyelenggaraan Asian Para Games
Berita

Catatan Pokja Implementasi UU Penyandang Disabilitas atas Penyelenggaraan Asian Para Games

Publik seolah diarahkan untuk memperhatikan kekurangan dari para atlet disabilitas, ketimbang menunjukan prestasi dan semangat juang para atlit tersebut

Oleh:
M. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Foto: twitter.com
Foto: twitter.com

Asian Para Games 2018 menjadi ajang pembuktian bagi Indonesia bagaimana penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas di Indonesia dilaksanakan. Perhatian jutaan warga Asia tertuju ke Indonesia melihat bagaimana atlit-atlit kebanggaan negara mereka berlaga dalam suatu event internasional. 

 

Setelah berjalan hampir satu minggu -dengan segala persiapan sebelum hari pelaksanaan- memperlihatkan bagaimana warga negara negara dengan disabilitas masih tidak setara di Indonesia. Pelaksanan event internasional sekelas pesta olahraga se-Asia masih menampakkan bagaimana perspektif sebagian orang menstigma disabilitas dan aksesibilitas yang jauh dari cukup. Dampaknya, masih banyak praktik diskriminasi terhadap penyandang disabilitas termasuk para atlit, penonton, dan relawan.

 

Ketua Umum Pusat Pemilihan Umum Akses (PPUA) Disabilitas, Ariani Soekanwo, yang tergabung dalam Pokja Implementasi UU Disabilitas menilai, stigma negatif sarat ditunjukan pada awal perhelatan Asian Para Games 2018. “Bukan kemampuan para atilit yang ditunjukkan, namun kondisi fisik mereka yang dipertontonkan,” ujar Ariani kepada hukumonline, Sabtu (13/10).

 

Publik seolah diarahkan untuk memperhatikan kekurangan dari para atlet disabilitas, ketimbang menunjukan prestasi dan semangat juang para atlit tersebut. Masih kerap ditemukan jargon seperti “Kehilangan kaki untuk temukan semangat ukir prestasi dahsyat”, atau “Para penembus batas”, mencerminkan perspektif yang digunakan.

 

Narasiyang terbangun masih mengedepankan kekurangan fisik seseorang. Fokus publik tidak langsung diarahkan melihat semangat juang dan prestasi atlit. Kesetaraan atlit disabilitas dan nondisabilitas harus mampu dibangun. Aspek yang paling fundamental dari ini adalah bagaimana mengajak publik melihat hal ini. Pokja menilai pemberitaan di media masih menggunakan istilah cacat atau narasi lain yang bersifat mengasihani.

 

“Secara tidak langsung menutupi semangat membela nama negara Indonesia dengan rasa belas kasihan,” ujar Ariani.

 

Dari aspek pembinaan terhadap atlit, “insiden” gagal bertandingnya atlit-atlit Indonesia di dua cabang olahraga, yaitu Judo dan Renang merupakan bukti dari lemahnya pembinaan olahraga bagi penyandang disabilitas di Indonesia. Dua kegagalan itu disebabkan karena adanya ketidakpahaman terhadap regulasi dan jadwal persiapan pertandingan, yang sangat mendasar untuk dikuasai oleh atlit dan para pengurus olahraga. Potret ini bisa jadi adalah fenomena gunung es, yang masih menyisahlan berbagai persoalan yang tersembunyi.

Tags:

Berita Terkait