Gerakan Reformasi Membawa Perubahan  MPR
Pojok MPR-RI

Gerakan Reformasi Membawa Perubahan  MPR

Sebab MPR sebelumnya memiliki kewenangan yang mutlak. Salah satu kewenangan yang dimililki itu adalah dapat memberhentikan Presiden. Saat ini prosea pemberhentian pejabat presiden mesti melalui prosea panjang.

Oleh:
RED
Bacaan 2 Menit
Foto: Humas MPR
Foto: Humas MPR

Anggota MPR dari Fraksi PKB, Mohammad Toha,  mengatakan, sebelum UUD Tahun 1945 diamandemen, MPR memiliki kewenangan yang mutlak. Salah satu kewenangan yang dimililki itu adalah dapat memberhentikan Presiden. "Tahun 2001, Presiden Abdurrahman Wahid diberhentikan oleh MPR," ujarnya saat menjadi narasumber Sosialisasi Empat Pilar MPR dengan metode training of trainer (TOT) bagi kalangan perwira menengah TNI AL, di Surabaya, Jawa Timur, 2018.

 

Proses pemberhentian Presiden menurut mantan Wakil Bupati Sukoharjo, Jawa Tengah, itu sekarang tak seperti dahulu. Melewati proses DPR, MK, dan MPR. Prosesnya berbelit dan panjang. "Sehingga pasca amandemen mustahil untuk bisa memberhentikan Presiden", paparnya. 

 

Diungkapkan banyak perubahan dalam UUD Tahun 1945 pasca amandemen. Disebut dulu anggota MPR di antaranya terdiri dari utusan daerah dan golongan. Sekarang anggota MPR dipilih oleh rakyat lewat Pemilu yang memilih anggota DPR dan DPD. "Dengan demikian sekarang MPR lebih mencerminkan kemauan rakyat," ujar alumni UNS, Surakarta, Jawa Tengah, itu. 

 

Diceritakan, dulu Soeharto bisa menjadi presiden berkali-kali sebab dalam UUD Tahun 1945, tidak ada batasan bagi seseorang untuk menjadi dan menjabat sebagai Presiden. Menurut Mohammad Toha hal demikian sekarang tak bisa terjadi lagi. Pembatasan ini dilakukan untuk mencegah munculnya pemerintahan yang otoriter.

 

Perubahan yang terjadi dalam UUD membuat sistem tata negara Indonesia menganut sistem saling mengawasi. Yakni, dari vertikal hierarkhis menjadi horizontal fungsional. Perubahan yang terjadi di MPR dan sistem tata negara lainnya, menurut Mohammad Toha karena adanya gerakan reformasi oleh mahasiswa di tahun 1998. Gerakan reformasi itu di antaranya menuntut supremasi hukum dan kebebasan press.

 

Apa yang dikatakan oleh Mohammad Toha diperkuat oleh anggota Lemkaji MPR Prof. Syamsul Bahri yang saat itu juga menjadi narasumber TOT.

 

Guru Besar Universitas Brawijaya itu menuturkan perubahan yang terjadi di MPR sebab anggota lembaga negara itu sendiri yang mengamputasi kewenangannya yang dimiliki. Sekarang dirasakan adanya amputasi yang tidak tepat sehingga membuat perjalanan bangsa dan negara ini tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.

Tags:

Berita Terkait