Anotasi Putusan Kasus Korupsi KTP Elektronik, Ini Hasilnya
Berita

Anotasi Putusan Kasus Korupsi KTP Elektronik, Ini Hasilnya

​​​​​​​Dalam putusan Setya Novanto, banyak hal yang nyatanya tidak sesuai dengan ketentuan dan prinsip hukum pidana.

Oleh:
M-28
Bacaan 2 Menit
Setya Novanto. Foto: RES
Setya Novanto. Foto: RES

Dugaan korupsi proyek KTP elektronik (e-KTP) menjadi salah satu kasus korupsi yang menggemparkan karena besarnya kerugian negara yang terjadi yakni senilai Rp2,3 triliun. Bukan hanya itu, kasus ini juga menyeret sejumlah pejabat baik dari pemerintah maupun DPR. Hal itu mengemuka dalam seminar bertema “Arah Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi dalam Kasus KTP Elektronik” di Depok, Senin (15/10).

 

Para pengisi seminar adalah penyusun anotasi putusan KTP Elektronik atas nama Setya Novanto. Penyusun tersebut adalah Junaedi, Flora Dianti dan Prof. Topo Santoso. Meski belum rampung disusun, namun para penyusun telah menyebutkan hasil sementara dari anotasi yang dilakukan. Junaedi mengatakan, tujuan jangka pendek dari pengadaan KTP Elektronik sebagai upaya mengintegrasikan data-data kependudukan dari pemegang KTP tersebut (single ID).

 

Sementara itu, dalam jangka panjang, diharapkan setelah keseluruhan data-data kependudukan pemegang KTP terintegrasi, maka e-voting atau pemilihan umum secara elektronik juga bisa dilaksanakan pada 2024. “Single ID ini seharusnya bisa menyimpan data-data tentang kelahiran, perkawinan, dan bisa digunakan untuk berbagai jenis pelayanan publik,” tuturnya.

 

Salah satu pejabat yang paling menyita perhatian dan kini telah berstatus terpidana adalah Setya Novanto. Pada April 2018 lalu, majelis hakim Pengadilan Tipikor telah menjatuhi vonis pidana penjara selama 15 tahun dan denda 500 juta subsidair kurungan 3 bulan. Tidak hanya itu, Setya Novanto juga diganjar dengan pencabutan hak menduduki jabatan publik selama 5 tahun.

 

Namun, banyak hal yang menjadi catatan terkait proses pembuktian selama persidangan kasus Setya Novanto berlangsung. Terkait hal ini, Flora Dianti membaginya ke dalam tiga bagian, yaitu terkait keabsahan cara perolehan alat bukti (admissibility), minimal alat bukti, dan keabsahan alat bukti.

 

Terkait admissibility, seperti diketahui, dalam persidangan Setya Novanto, ada beberapa alat bukti yang diperoleh dari luar negeri misalnya bukti dokumen money changer di luar negeri dan rekaman Johanes Marliem dari FBI. Mengenai alat bukti yang diperoleh dari luar negeri, seharusnya majelis hakim dalam pertimbangannya menyatakan bahwa perolehan ini berasal dari perjanjian mutual legal assistant (MLA)atau bantuan timbal balik dalam masalah pidana.

 

Berdasarkan UU No. 1 Tahun 2006, permintaan bantuan pencarian alat bukti dapat dilakukan lewat government to government, maupun lewat agent to agent. Namun, bila Indonesia belum mengadakan perjanjian MLA, maka permintaan bantuan pencarian alat bukti itu bisa didapat atas dasar asas resiprositas. Dengan ketiadaan legal reasoning dalam putusannya, maka sebenarnya hal ini bertentangan dengan Pasal 197 KUHAP.

Tags:

Berita Terkait