Pemerintah: Pembatasan Iklan Kampanye Konstitusional
Berita

Pemerintah: Pembatasan Iklan Kampanye Konstitusional

Bagi pemerintah 'citra diri' dalam Pasal 1 angka 35 UU Pemilu meliputi logo dan nomor urut partai peserta pemilu yang bersifat mengikat (melekat). Aturan pembatasan iklan saat kampanye justru dinilai menciptakan keadilan, kesetaraan bagi partai politik dan bakal calon legislatif yang tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945.

Oleh:
Aida Mardatillah/M-27
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Pemerintah memberi pandangannya dalam sidang uji materi Pasal 1 angka 35, Pasal 275 ayat (2), Pasal 276 ayat (2), dan Pasal 293 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) terkait frasa “citra diri” dan larangan iklan dalam Pemilu. Permohonan ini diajukan Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Muhammad Hafidz, dan Abdul Hakim yang hanya menguji Pasal 1 angka 35.

 

Pemohon I, PSI merasa dirugikan akibat berlakunya pasal-pasal tersebut. Sebab, frasa “citra diri” hanya disebut pada Pasal 1 angka 35, tidak lagi disebut dalam pasal, ayat, atau bagian lain UU Pemilu ini. Tetapi, frasa ini menjadi bagian dari kegiatan kampanye pemilu, yang mempunyai konsekuesi pelanggaran tindak pidana pemilu.

 

PSI pernah meminta masukan masyarakat untuk melakukan polling terkait pilpres dan calon menteri Kabinet Jokowi 2019 (dengan menampilkan logo partai) sebelum masa kampanye yang dipublikasikan di Harian Jawa Pos edisi 23 April 2018. Hal ini dianggap sebagai “citra diri” yang merupakan bagian dari kampanye. Kasus ini akhirnya dilaporkan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) ke Bareskim Mabes Polri atas dugaan tindak pidana pemilu sesuai Pasal 492 jo Pasal 1 angka 35 UU Pemilu.

 

Bunyi Pasal 1 angka 35 UU Pemilu menyebutkan Kampanye Pemilu adalah kegiatan Peserta Pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh Peserta Pemilu untuk meyakinkan Pemilih dengan menawarkan visi, misi, program dan/atau citra diri Peserta Pemilu.”

 

PSI berpendapat laporan ini memungkinkan PSI terkena sanksi pidana pemilu yang menyebabkan kerugian konstitusional akibat frasa “citra diri” yang cenderung multitafsir. Frasa ini ditafsirkan secara sewenang-wenang oleh Bawaslu ataupun KPU. Untuk itu, PSI meminta Pasal 1 angka 35 UU Pemilu dinilai bertentangan dengan UUD 1945.

 

Pemohon II Muhammad Hafidz dan Abdul hakim yang akan memberi hak suaranya dalam pemilu merasa dirugikan dengan Pasal 1 angka 35. Ini akan menghalangi pemohon untuk memperjuangkan hak politiknya dengan meminta masukan dari masyarakat dengan keberpihakan setiap orang dalam menentukan pilihannya dalam kontestan pemilihan umum.

 

Karenanya, Pemohon II meminta kepada Mahkamah agar frasa “citra diri” dalam Pasal 1 angka 35 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang dimaknai “bukan untuk dimaksudkan meminta masukan dari masyarakat luas, atas pendapat setiap orang perseorangan warga negara Indonesia terhadap kriteria-kriteria peserta pemilu.”

Tags:

Berita Terkait