Ujaran Kebencian dan Berita Bohong, Apa Beda di Eropa dan Indonesia?
Berita

Ujaran Kebencian dan Berita Bohong, Apa Beda di Eropa dan Indonesia?

Negara-negara demokrasi menjunjung kebebasan menyatakan pendapat.

Oleh:
Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Polri pernah mengumumkan plaku berita palsu alias hoax. Foto: RES
Polri pernah mengumumkan plaku berita palsu alias hoax. Foto: RES

Yoshihiro Francis Fukuyama, seorang ilmuan politik dan penulis Amerika Serikat dalam bukunya The End of History and the Last Man mengatakan, transisi era masyarakat industri menuju era informasi akan melahirkan great disruptions yang akan merusak tatanan sosial. Barangkali, era informasi yang dimaksud Fukuyama adalah yang tengah melanda dunia saat ini. Kemajuan teknologi dan perkembangan yang mengiringinya, perlahan tapi pasti menunjukkan tanda-tanda disrupsi.

Kebebasan menyatakan pendapat dan penghormatan Hak Asasi Manusia adalah konsekuensi logis dari penerapan sistem demokrasi. Angin reformasi yang sempat melanda Indonesia membawa semangat perubahan dan melepaskan warga negara dari belenggu ketakutan menyatakan pendapat di hadapan negara. Namun, hari ini bisa dilihat ‘wajah lain’ kebebasan berekpresi dan menyatakan pendapat di hadapan umum.

Kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat berubah menjadi ujaran kebencian (hate speech) dan penyebaran berita palsu. Parahnya, ujian kebencian dan berita palsu semakin mudah menyebar akibat perkembangan teknologi. Sebaran ujaran kebencian dan informasi palsu telah merambah hingga ke kanal-kanal platform online, media sosial, bahkan aplikasi layanan pesan. Hal ini menjadi tantangan besar tidak hanya di Indonesai, bahkan komunitas global seperti Uni Eropa ikut cemas melihat tren ini.

(Baca juga: Dosen PNS Dominasi Laporan Ujaran Kebencian).

Selain di Indonesia, dorongan perilaku kasar dan kekerasan, bullying, serta menyebarkan kemarahan secara online, hoax, serta bentuk-bentuk disinformasi lainnya meningkat secara signifikan, bahkan di negara-negara anggota Uni Eropa. Dengan demikian, muncul kesadaran bersama masyarakat global untuk menangkal peredaran ujaran kebencian dan disinformasi. Dengan tetap memperhatikan terpenuhinya hak dasar individu yakni kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat.

Masalah ujaran kebencian dan berita palsu sebenarnya telah mendapat perhatian global. “Kita menghadapi ujaran kebencian sembari tetap mengedepankan kebebasan berpendapat,” ujar Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesai dan Brunai Darussalam, Vincent Guerend dalam diskusi mengenai penanganan ujaran kebencian dan disinformasi, Rabu (17/10), di Jakarta.

Sejumlah negara-negara di dunia saat ini, jelasnya, sudah mengatur prilaku ujaran kebencian dan penyebaran disinformasi melalui instrumen regulasinya masing-masing. Jerman di tahun 2017 telah mengesahkan Undang-Undang yang mengatur tentang penggunaan platform online sebagai media penyebarluasan ujaran kebencian dan disinformasi. Selain Jerman, Spanyol, Prancis, dan Hunggaria telah melakukan langkah serupa.

Selain itu, Uni Eropa telah memiliki seperangkat peraturan tentang kegiatan komunikasi -baik online maupun offline- dan konten informasi. Uni Eropa juga telah bekerjasama dengan perusahaan-perusahaan media sosial untuk menangkal ujaran kebencian. Pada Mei 2016, Facebook, Google, Microsoft, Twitter, dan Uni Eropa telah menandatangani kode etik dalam merespon ujaran kebencian illegal di platform online (Code of Conduct on Countering Ilegal Hate Speech Online).

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait