Salah Satu Pihak Terkena OTT, Dapatkah Perjanjian Dibatalkan?
Utama

Salah Satu Pihak Terkena OTT, Dapatkah Perjanjian Dibatalkan?

Perubahan kebijakan pemerintah tak bisa dikualifikasi sebagai force majeur?

Oleh:
Fitri N. Heriani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi pembatalan perjanjian antara dua pihak. Ilustrator: BAS
Ilustrasi pembatalan perjanjian antara dua pihak. Ilustrator: BAS

Komisi Pemberantasan Korupsi terus melakukan operasi tangkap tangan kepada para pihak yang diduga melanggar UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Operasi tangkap tangan yang dilakukan dalam kasus perizinan Meikarta, misalnya, bukan saja melibatkan aparat pemerintah tetapi juga pengusaha.

Dalam kasus semacam ini, konsumen bertanya-tanya apakah suatu proyek berlanjut atau tidak. Dalam kasus lain, apakah perubahan kebijakan pemerintah bisa menjadi dasar salah satu atau kedua pihak dalam perjanjian pembelian apartemen, misalnya, dapat memutuskan perjanjian secara sepihak. Pertanyaan senada dapat diajukan, dapatkah terkena OTT dijadikan dasar untuk menghindari kewajiban dalam suatu perjanjian? Jika pihak yang terkena OTT adalah yang langsung menandatangani perjanjian dengan konsumen, keberlangsungan perjanjian bisa menjadi persoalan.

Advokat yang selama ini menaruh perhatian pada kasus-kasus konsumen, David M.L.Tobing berpendapat konsumen dan pelaku usaha, khususnya apartemen, diikat dengan perjanjian yang biasanya berisi tahapan pembayaran, pembangunan, dan serah terima unit. Jika perjanjian berlanjut, dapat diasumsikan bahwa apa yang diperjanjikan kedua belah pihak  sudah memenuhi syarat atau memenuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jika perjanjian dilanggar pelaku usaha, konsekuensi yang mungkin terjadi adalah pembatalan perjanjian.

Pembatalan perjanjian, lanjut David, bisa dilakukan dengan secara sukarela, sesuai kesepakatan kedua belah pihak. Sebaliknya, jika tak ada kesepakatan atau jika pelaku usaha membatalkan perjanjian, maka konsumen bisa menuntut pelaku usaha. “Tuntutan konsumen ini harus didasari wanprestasi pelaku usaha. Misalnya proyeknya tidak berjalan sebagaimana mestinya. Pun proyeknya berjalan tapi terlambat serah terima. Itu juga ada konsekuensi. Sudah diatur di dalam kontrak keterlambatan serah terima pelaku usaha harus membayar berapa. Itu sudah diatur,” katanya.

(Baca juga: Hakim Gunakan Dalil Misbruik van Omstandigheden).

Bagaimana jika yang diperjanjikan ternyata belum memenuhi syarat dan diketahui di kemudian hari setelah perjanjian dilakukan? Menurut David, merujuk ke syarat sahnya perjanjian, salah satunya adalah mensyaratkan klausa yang halal. Jikalau yang diperjanjikan belum memenuhi syarat, lanjutnya, maka syarat klausa yang halal tidak terpenuhi dan bisa dikembalikan seperti sediakala, misalnya pengembalian uang muka atau downpayment (DP) yang sudah dibayarkan konsumen.

“Tinggal bagaimana konsumen bisa membuktikan bahwa dia tidak mengetahui syarat yang halal belum terpenuhi dalam perjanjian. Apakah konsumen tahu izin belum lengkap? Kalau konsumen tahu, itu risiko ada di konsumen. Kalau tidak tahu berarti konsumen merasa dirugikan,” jelasnya. Dalam kondisi seperti yang disebut terakhir, konsumen dapat menuntut pembatalan perjanjian.

Pakar hukum perdata, J. Satrio, berpendapat jika terjadi suap oleh pelaku usaha yang terlibat perjanjian kepada pejabat pemerintah, dan menyebabkan si pengusaha terkena OTT, perjanjian antara pengusaha dengan konsumen tidak serta merta dinyatakan batal. Pembatalan kontrak terjadi jika pelaku usaha mangkir dari isi kontrak atau wanprestasi. “Konsumen bisa membatalkan kontrak dan minta ganti rugi karena ada kesalahan prosedur dari proyek milik pelaku usaha, kalau proyek itu sampai tidak bisa dilanjutkan karena salahnya pihak pelaku usaha, pelaku usaha harus bertanggung jawab,” jelasnya.

Tags:

Berita Terkait