Perlu Lembaga Tunggal untuk Menata Pembentukan Peraturan Perundang-undangan?
Berita

Perlu Lembaga Tunggal untuk Menata Pembentukan Peraturan Perundang-undangan?

Diyakini memudahkan koordinasi.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Seminar penataan regulasi di lingkungan pemerintah. Foto: RES
Seminar penataan regulasi di lingkungan pemerintah. Foto: RES

Dalam program penataan regulasi nasional, banyak persoalan yang terungkap. Peraturan yang saling tumpah tindih tak selamanya bisa diselesaikan dengan uji materi ke Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung. Egosektoral dalam proses pembentukan peraturan yang lebih teknis bahkan tidak mudah diselesaikan, sehingga Pemerintah membentuk mekanisme penyelesaian non-litigasi melalui Kementerian Hukum dan HAM. Mekanisme ini untuk menyelesaikan sengketa antarnorma perundang-undangan.

 

Dengan melihat kondisi riil penataan regulasi, Deputi Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Sekretariat Kabinet, Fadlansyah Lubis, mengusulkan penataan kelembagaan pembentukan peraturan perundang-undangan. Saat bertandang ke ruang Ketua DPR, Bambang Soesatyo, Rabu (24/10) lalu, Fadlansyah mengusulkan adanya lembaga tunggal di bidang legislasi.

 

Fadlansyah memang tak merinci bagaimana bentuk lembaga tunggal dimaksud. Tetapi eksistensinya dianggap penting dalam proses penyusunan regulasi yang tidak tumpang tindih. Dalam pembentukan Undang-Undang, misalnya, proses menuju ‘persetujuan bersama’ antara DPR dan pemerintah tak semudah membalik telapak tangan. Selain itu, Pemerintah menanggung beban untuk menyederhanakan ribuan peraturan teknis. Dalam upaya itu, kewenangan Pemerintah ‘memangkas’ regulasi yang bertentangan dengan Undang-Undang telah ‘dipangkas’ lewat putusan Mahkamah Konstitusi.

 

(Baca juga: Perlu Komitmen Kuat untuk Reformasi Penyederhanaan Regulasi).

 

Sekilas, Fadlansyah mengatakan lembaga tunggal itu kelak memiliki tugas dari hulu ke hilir, mulai dari perencanaan, penyusunan, perumusan, harmonisasi, sosialisasi, hingga revisi. Ia menunjuk keberadaan lembaga sejenis di beberapa negara, seperti The Office Information and Regulatory Affairs (OIRA) di Amerika Serikat; The Office of Best Practice Regulation (OBPR) di Inggris; Cabinet Legislation Bureau (CLB) di Jepang; dan Ministry of Government Legislation (MoLeg) di Korea Selatan.

 

Di Indonesia, sebenarnya sudah ada Kementerian Hukum dan HAM yang tugas-tugasnya dimulai dari perencanaan hingga pembahasan dengan DPR, atau harmonisasi lintas kementerian dan lembaga. Fadlansyah mengisyaratkan Indonesia berpeluang mengadaptasi model pembentukan regulasi di Korea Selatan. “Mereka yang paling mendekati karakteristik Indonesia,” ujarnya di Kompleks Gedung Parlemen.

 

Ketua DPR Bambang Soesatyo menyambut positif gagasan Fadlansyah karena gagasan ini merupakan bagian dari upaya pemerintah mempersiapkan penataan kelembagaan. Lembaga tunggal yang mengurus pembentukan peratuan perundang-undangan diharapkan dapat mengurangi hambatan dalam pembahasan. Bamsoet, panggilan lazim Bambang Soesatyo, mengakui kesulitan koordinasi dengan Pemerintah dalam penyusunan suatu Rancangan Undang-Undang. “Keberadaan lembaga tunggal tersebut akan menjadi salah satu solusi menuju harmoninya berbagai peraturan,” tukas politisi Partai Golkar itu.

 

(Baca juga: Mengintip Terobosan Executive Review ala BPHN Lewat Rencana Aksi Penataan Regulasi).

 

Terpisah, Direktur Riset dan Inovasi,  Pusat Studi Kebijakan Hukum (PSHK) Indonesia Rizky Argama berpandangan aspek legislasi sedianya tetap menjadi kekuatan bagi DPR secara kelembagaan. Menurutnya gagasan pembentukan lembaga tunggal di bidang legislasi ditekankan pada organisasi pemerintahan. Pemerintah sudah mesti menetapkan arah politik regulasi  ke depan. “Tentu nanti ada negosiasi dengan DPR di tahap politisnya. Tetapi tahap teknisnya mestinya sudah direncanakan dengan baik,” ujarnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait