Menyoal Eksekusi Mati TKI dan Adanya Pelanggaran Etika Berdiplomasi
Berita

Menyoal Eksekusi Mati TKI dan Adanya Pelanggaran Etika Berdiplomasi

Eksekusi terhadap TKI, Tuti Tursilawati berbanding terbalik dengan hubungan diplomatik antara Indonesia-Arab Saudi yang nampak di permukaan.

Oleh:
M-28
Bacaan 2 Menit
Aksi protes hukuman mati terhadap buruh migran di Arab Saudi. Foto: RES
Aksi protes hukuman mati terhadap buruh migran di Arab Saudi. Foto: RES

Kabar duka kembali datang dari salah seorang pejuang devisa. Indonesia harus menerima perlakuan tidak manusiawi dari Pemerintah Arab Saudi. Setelah Maret lalu, Muhammad Zaini Misrin meregang nyawa di tangan algojo, kini Tuti Tursilawati harus mengalami hal sama. Perempuan asal Majalengka yang mengumpulkan pundi devisa bagi negara ini diekseskusi mati, Senin (29/10), tanpa adanya mandatory consular notification kepada Pemerintah RI.

 

Kisah tragis Tuti berawal pada 2011, di mana dia dituduh melalukan pembunuhan berencana kepada ayah majikannya, Suud Mulhak Al Utaibi setahun sebelumnya di Thaif, Arab Saudi. Majelis hakim menjatuhkan vonis hukuman mati “had gillah” bagi Tuti. Melansir Antara, hukuman yang dijatuhkan pada Tuti ini merupakan hukuman mati mutlak yang tidak bisa diampuni oleh raja atau ahli waris korban. Hukuman yang tingkatannya di atas qisas dan takzir ini hanya bisa dimaafkan oleh Allah SWT.

 

Berdasarkan dokumentasi Migrant CARE, eksekusi mati terhadap TKI di Arab Saudi bukan kali pertama terjadi. Tuti Tursilawati menjadi TKI keenam yang dieksekusi oleh Arab Saudi tanpa pemberitahuan resmi pada pemerintah Indonesia. Sebelumnya, Arab Saudi telah melakukan hal sama dalam eksekusi hukuman mati terhadap Yanti Irianti, Ruyati, Siti Zainab, Karni, dan Zaini Misrin.

 

Nama-nama di atas harus merelakan nyawanya di tangan otoritas Arab Saudi atas tuduhan pembunuhan. Parahnya, Arab Saudi tidak memberikan pemberitahuan secara resmi kepada Pemerintah Indonesia terlebih dulu sebelum melakukan eksekusi terhadap mereka.

 

Lebih lanjut, dalam Konvensi Wina 1963 tentang Hubungan Diplomatik yang telah diratifikasi lewat UU 1 No.1 Tahun 1982 tentang Pegesahan Konvensi Wina Mengenai Hubungan Diplomatik Beserta Protokol Opsionalnya Mengenai Hal Memperoleh Kewarganegaraan, juga telah diatur mengenai fungsi konsuler.

 

Dalam Pasal 36 konvensi ini ditegaskan bahwa negara pengirim lewat petugas konsuler memiliki kebebasan untuk berkomunikasi dengan warga negaranya. Selain itu, negara penerima harus memberitahukan kepada negara pengirim apabila warga negaranya menghadapi permasalahan hukum.

 

Menilik kasus eksekusi mati yang dilakukan Pemerintah Arab Saudi tanpa adanya pemberitahuan kepada pemerintah RI, jelas bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam Konvensi Wina 1963. Anis Hidayah, Ketua Ketua Pusat Studi dan Kajian Migrasi Migrant CARE mengatakan secara etika diplomasi hal ini jelas tidak bisa dibenarkan.

Tags:

Berita Terkait