Hidayat Nur Wahid: Ulama dapat Berperan Melalui Parlemen
Pojok MPR-RI

Hidayat Nur Wahid: Ulama dapat Berperan Melalui Parlemen

Ketua fraksi partai Masyumi DPR RIS yaitu M. Natsir menjadi contoh nyata peran ulama dalam parlemen.

Oleh:
RED
Bacaan 2 Menit
Foto: Humas MPR
Foto: Humas MPR

Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid didampingi Pimpinan Fraksi PKS MPR Soenmanjaya Rukmandis menerima peserta program Pendidikan Kaderisasi Ulama (PKU) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Bogor. Pertemuan berlangsung di Ruang GBHN Gedung Nusantara Komplek Parlemen, Jakarta, Kamis petang (1/11).

 

Dalam pertemuan itu, Hidayat menjelaskan tentang peran ulama dalam menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melalui peran serta di lembaga perwakilan seperti MPR dan DPR. Keberadaan NKRI sebagai harga mati, salah satunya adalah karena peran parlemen. Misalnya Pasal 1 ayat 1 dari UUD NRI Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik.

 

Hidayat menceritakan usia Indonesia setelah merdeka tidak lama. Sebab, pada 15 Nopember 1946, Belanda hanya mengakui negara Indonesia  terdiri dari Jawa, Sumatera, dan Madura. Pada September 1948, sudah berdiri negara Republik Soviet Indonesia dengan ibukota Madiun. Lalu, pada 27 Desember 1949 melalui Konperensi Meja Bundar, Belanda mengakui Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan UUD RIS dan 16 negara bagian -salah satu negara bagian adalah Republik Indonesia dengan ibukota di Yogyakarta-.

 

Pada waktu itu, kata Hidayat, parlemen berperan mengembalikan Indonesia menjadi NKRI. Ini tidak lepas dari peran ulama. Saat sidang DPR RIS, tampil seorang santri, tokoh ulama, dan ketua fraksi partai Masyumi DPR RIS yaitu M. Natsir. Dalam pidato di depan sidang DPR RIS, Natsir menyampaikan pidato yang dinamakan Mosi Integral. Natsir menolak Indonesia dibagi dalam 16 negara RIS. Natsir mengusulkan kembali pada integralnya Indonesia, yaitu NKRI. Pemerintah Indonesia melalui Bung Karno dan Bung Hatta setuju dengan Mosi Integral M. Natsir.

 

“Pada tanggal 17 Agustus 1950 diproklamasikan NKRI. Kita mengenal dua kali proklamasi. Jadi 17 Agustus 1945 adalah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Tanggal 17 Agustus 1950 adalah proklamasi NKRI. Disitulah makna penting dari hadirnya seorang ulama,” ujarnya.

 

Dalam pertemuan itu, Hidayat menguraikan tentang Islam wasathiyah. Islam wasathiyah adalah Islam di mana para ulama dan umat betul-betul menghadirkan kehidupan yang menghasilkan khasanah kebaikan bukan hanya di akhirat tapi juga di dunia. Bukan hanya kebaikan bersama, tapi juga kebaikan yang membawa perubahan-perubahan yang mengarah pada keunggulan-keunggulan.

 

Politisi Partai Keadilan Sejahtera itu berharap  peserta PKU bisa menyelesaikan program pendidikan ini dengan baik dan berhasil, serta menyebarluaskan pengetahuan dan amanah sebagai ulama. “Untuk memastikan bahwa umat Islam Indonesia semakin baik lagi,” pungkasnya seraya  mengingatkan peran ulama seperti Natsir yang mengembalikan pada cita-cita Indonesia merdeka, yaitu NKRI.

Tags:

Berita Terkait