Akademisi dan Praktisi Hukum Tata Negara Khawatirkan Politik Uang
Konferensi HTN ke-5:

Akademisi dan Praktisi Hukum Tata Negara Khawatirkan Politik Uang

Kampanye di tempat pendidikan dan tempat ibadah pidana atau bukan?

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Konferensi Hukum Tata Negara ke-5 di Batusangkar, Sumbar, Sabtu (10/11). Foto: MYS
Konferensi Hukum Tata Negara ke-5 di Batusangkar, Sumbar, Sabtu (10/11). Foto: MYS

Meskipun UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dianggap lebih komprehensif karena sudah menggabungkan beberapa Undang-Undang, kenyataannya masih ada celah yang bisa dimanfaatkan. Pengaturan tentang politik uang dan penegakan hukumnya, dianggap belum mampu menghasilkan pemilu yang benar-benar bersih. Politik uang di Indonesia terjadi dalam beberapa proses, walaupun sulit dibuktikan.

Demikian intisari diskusi paralel tentang pencegahan dan penanganan politik uang dalam pemilu di sela-sela Konferensi Hukum Tata Negara ke-5 yang berlangsung di Batusangkar, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, Sabtu (10/11). Mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Topo Santoso, dosen Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Mada Sukmajati dan akademisi Australia Graeme Orr menjadi pemantik diskusi tema tersebut.

Topo menyinggung pasal-pasal pidana dalam perundang-undangan yang tak sepenuhnya konsisten menghukum pelanggaran dalam pemilu legislatif dan pemilihan presiden/wakil presiden. Mada Sukamajati menyinggung problematika politik uang, pola, dan dampaknya terhadap kualitas penyelenggaraan pemilu. Mada meyakini politik uang masih akan terjadi pada Pemilu 2019 mendatang. “Bahkan bisa lebih gila lagi,” ujarnya.

(Baca juga: Politik Uang Melahirkan Pemimpin yang Tak Punya Kapasitas).

Dalam UU tentang Pemilihan Umum, ketentuan pidana diatur mulai Pasal 488 hingga Pasal 554. Banyaknya pasal pidana tersebut seyogianya mampu mencegah politik uang. Nyatanya, politik uang masih terus terjadi dan sulit dibendung. Momentum pemberian uangnya beragam, dan polanya juga beragam. Bukan hanya uang, tetapi juga dalam bentuk barang dan fasilitas.

Pada tataran normatif pun ada kesalahan. Pasal 280 ayat (4) UU Pemilu memuat larangan dalam kampanye antara lain mempersoalkan dasar negara Pancasila, melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye pemilu. Pasal 280 ayat (4) menyebutkan jenis-jenis perbuatan yang dilarang dalam kampanye merupakan tindak pidana, terkecuali Pasal 280 ayat (1) huruf h, yakni menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan.

Tetapi Pasal 280 ayat (4) itu tidak konsistem dengan Pasal 521 UU Pemilu. Pasal terakhir ini justru masih menjadikan perbuatan ‘menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan’ sebagai perbuatan yang dapat dipidana. Pasal 521 tidak memberikan pengecualian terhadap rumusan huruf h Pasal 280 ayat (1) UU Pemilu. Pasal 521 menegaskan “Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim kampanye pemilu yang dengan sengaja melanggar larangan pelaksanaan kampanye pemilu sebagaimana dimaksud Pasal 280 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i, atau huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp24.000.000”.

Menurut Mada, politik uang bukan hanya terjadi pada kampanye pemilu dan proses pencalonan, tetapi juga pada pemilihan umum parpol. Beberapa kasus yang terungkap di Pengadilan Tipikor, misalnya, ada irisan uang korupsi dengan pelaksanaan munas partai politik yang antara lain mengagendakan pemilihan ketua umum.

Tags:

Berita Terkait