Skema Public-Private Partnership Dapat Dipakai Cegah Pendanaan Terorisme
Berita

Skema Public-Private Partnership Dapat Dipakai Cegah Pendanaan Terorisme

Perlu pengaturan negara-negara kawasan mengenai investigasi keuangan dan penelusuran terhadap aset virtual.

Oleh:
Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi penanganan aksi terorisme di Jakarta. Foto: RES
Ilustrasi penanganan aksi terorisme di Jakarta. Foto: RES

Wakil Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Dian Ediana Rae, dalam rangkaian kegiatan The 4th Counter-Terrorism Financing Summit (CTF Summit) yang diselenggarakan di Bangkok (6-8/11) lalu menyampaikan perlunya skema public-private partnership guna mengoptimalkan kerja pencegahan pendanaan terorisme di kawasan Asia Pasifik. CTF Summit kali ini diselengarakan bersama antara lembaga intelijen keuangan Thailand (Thailand’s Anti-Money Laundering Office/AMLO), lembaga intelijen keuangan Australia (Australian Transaction Reports and Analysis Centre/AUSTRAC), dan PPATK.

Public-private partnership yang dimaksud Dian merupakan suatu aliansi antara lembaga intelijen keuangan, lembaga penegak hukum, dan pihak pelapor (penyedia jasa keuangan dan penyedia barang dan/atau jasa lainnya) untuk pertukaran informasi intelijen tanpa hambatan dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dan tindak pidana pendanaan terorisme (TPPT).

“Skema public-private partnership membantu dalam mengatasi hambatan kerahasiaan, membuat penyelidikan suatu perkara menjadi lebih komprehensif, dan proses asset recovery menjadi lebih efektif,” ujar Dian melalui keterangan resmi PPATK kepada hukumonline, Senin (12/11).

Menurut Dian, output dari skema public-private partnership dapat berguna baik bagi pihak pelapor, lembaga intelijen keuangan, hingga penegak hukum. Ke depan, seluruh negara di kawasan Asia Pasifik diharapkan menjadikan skema public-private partnership sebagai salah satu sarana memperkuat upaya pencegahan dan pemberantasan pendanaan terorisme, dengan CTF Summit sebagai forum yang tepat untuk membangun pemahaman bersama tersebut.

Dian mengakui hingga saat ini masih terdapat sejumlah hambatan terkait implementasi skema public-private partnership. Antara lain seperti masih terbentur dengan isu kerahasiaan data dan informasi pengguna jasa, dan belum adanya komitmen politik yang kuat dari setiap negara. Namun, upaya membangun skema public-private partnership harus dimulai saat ini. “Mengingat penangangan pendanaan terorisme tidak bisa lagi mengandalkan metode-metode konvensional,” ujar Dian.

Selain mendorong perlunya skema public-private partnership dalam rangka kerja pencegahan pendanaan terorisme di kawasan Asia Pasifik, Dian juga mengusulkan adanya arbitrase peraturan antara negara-negara regional, khususnya terkait pengaturan investigasi keuangan dan penelusuran terhadap aset virtual. Hal ini tidak lepas dari fenomena saat ini bahwa aset virtual menjadi aset yang dapat diperdagangkan, ditransfer, terdigitalisasi, dan dapat digunakan sebagai alat pembayaran maupun instrumen investasi.

(Baca juga: Sisi ‘Gelap’ Kiprah Perusahaan Cangkang).

Namun, aset virtual ini sendiri belum sepenuhnya terakomodasi dalam Rekomendasi organisasi internasional anti-pencucian uang (Financial Action Task Force on Money Laundering/FATF) seperti halnya mata uang atau sekuritas. Bentuk-bentuk aset virtual saat ini terdiri atas Initial Coin Offering (ICO), Initial Token Offering (IFO), aset virtual sebagai mata uang, aset virtual sebagai sistem pembayaran, dan aset virtual sebagai alat investasi.

Tags:

Berita Terkait