Ahli Kritik Metode Pencalonan Anggota Legislatif
Berita

Ahli Kritik Metode Pencalonan Anggota Legislatif

Bivitri menawarkan pendekatan cara pandang crafting democracy agar desain mekanisme demokrasi sesuai konteks dengan melihat pada hasil yang hendak dicapai.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit
Bivitri Susanti usai memberi keterangan dalam sidang pengujian UU Pemilu di ruang sidang MK, Senin (12/11). Foto: Humas MK
Bivitri Susanti usai memberi keterangan dalam sidang pengujian UU Pemilu di ruang sidang MK, Senin (12/11). Foto: Humas MK

Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan pengujian Pasal 240 ayat (1) huruf n UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terkait syarat nyaleg mesti menjadi anggota partai politik (parpol) peserta Pemilu 2019, Senin (12/11). Agenda sidang mendengarkan keterangan Ahli Pemohon, Bivitri Susanti dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera dan pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK).

 

Dalam persidangan yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman, Bivitri menyampaikan makalahnya berjudul “Gagasan Crafting Democracy dan Legislatif Berkualitas”. Makalah ini berangkat dari kenyataan bahwa lembaga legislatif yang tidak hanya profesional, tetapi juga mengedepankan etik tentu saja bisa menjadi alat bagi negara memberikan keadilan dan kesejahteraan untuk rakyat.

 

“Kita sangat pahami demokrasi di dunia politik harus melewati tantangan meraih kekuasaan untuk mencapai tujuan yang sebenarnya lebih sempit. Saya melihat masuknya calon-calon legislatif yang direkrut partai politik (semata) untuk mengumpulkan suara. Saya kira ini hal yang banyak diungkap banyak sekali laporan penelitian. Fenomena ini sering disoroti karena dianggap sebagai cermin keinginan parpol untuk semata meraih kursi sebanyaknya,” ujar Bivitri di ruang sidang MK, Senin (12/11/2018) seperti dikutip laman MK Baca Juga: Syarat Nyaleg Minta Ditafsirkan Minimal Setahun Jadi Anggota Parpol

 

Bivitri mengungkapkan hal kedua kegagalan parpol dalam memberikan pendidikan politik. Hal ini terus-menerus terjadi, apalagi sekarang ini semakin tinggi angka parliamentary threshold (ambang batas parlemen) menjadi 4 persen. Penting bagi parpol untuk meraih jumlah suara sebanyak mungkin. Nampaknya, bagi Parpol menjadi tidak terlalu penting membuat strategi jangka panjang mengenai bagaimana cara mendapat suara sesuai tujuan parpol.

 

“Yang lebih penting adalah betul-betul memenuhi parliamentary threshold agar tidak ada kursi yang nantinya akan terbuang. Kita sudah lihat banyak survei yang menunjukkan beberapa partai yang sudah bisa dipastikan tidak akan mencapai ke Senayan karena tidak memenuhi parliamentary threshold,” lanjutnya.

 

Karena itu, menurutnya gagasan pentingnya mendesain mekanisme demokrasi sedemikian rupa agar tercapai model demokrasi yang sesuai konteks. Dalam kaitan ini, ia menggunakan cara pandang crafting democracy. Selain itu, sesuai perkara yang sedang diperiksa, perlu ada telaah mengenai bagaimana letak persyaratan calon anggota DPR dan DPRD dalam konteks batu uji yang digunakan yakni Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945.

 

“Saya melihat kerangka pikir (pendekatan) crafting democracy ini, masuk pada pemahaman hukum tata negara yang hanya tidak tekstual, tetapi juga mendesain model demokrasi yang kontekstual. Bila kita hanya melihat pada teks dalam konstitusi di perkara ini, kita akan cenderung terperangkap pada model yang diputuskan justru hanya oleh orang-orang yang mempunyai kepentingan langsung terhadap model itu,” urai Bivitri.

Tags:

Berita Terkait