Peluang Evolusi Keempat Penyelesaian Sengketa Pemilu
Konferensi HTN ke-5:

Peluang Evolusi Keempat Penyelesaian Sengketa Pemilu

Ada filosofi penggunaan ‘hari’ kalender dan ‘hari kerja’ dalam penyelesaian sengketa.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Sesi membahas sengketa pemilu dalam Konferensi HTN ke-5 di Batusangkar. Foto: MYS
Sesi membahas sengketa pemilu dalam Konferensi HTN ke-5 di Batusangkar. Foto: MYS

Menelisik sejarah penyelesaian sengketa proses pemilu di Indonesia, anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Fritz Edward Siregar menyimpulkan sudah tiga kali terjadi evolusi. Saat ini, ia memprediksi sedang terjadi proses menuju evolusi keempat. Menariknya, evolusi keempat semakin menjauhkan proses itu dari peran Mahkamah Agung. Mungkinkah evolusi keempat itu benar-benar terjadi?

Fritz menyampaikan pandangan tentang evolusi penyelesaian sengketa itu saat menjadi pemantik diskusi kelompok panel dalam Konferensi Hukum Tata Negara ke-5 yang berlangsung di Batusangkar, Sumatera Barat, Sabtu (10/11). Konferensi ini adalah forum pertemuan antara akademisi dan praktisi beserta pejabar pemerintah yang secara khusus mengangkat tema pemilihan umum. Penyelesaian sengketa menjadi salah satu subtema yang dibahas intens.

Evolusi pertama terjadi ketika Surat Keputusan (SK) Komisi Pemilihan Umum harus digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Jika salah satu pihak tak terima, maka prosesnya dilanjutkan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Jika masih tetap ada pihak yang tak terima, penyelesaian sengketa proses pemilu bisa dibawa ke Mahkamah Agung.

Evolusi kedua terjadi ketika UU Pilkada lahir. Keberatan terhadap SK KPU bisa diajukan ke Bawaslu. Dari Bawaslu prosesnya masih bisa dilanjutkan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, untuk selanjutnya dibawa ke Mahkamah Agung.

(Baca juga: Gugat Kewenangan KPU, FKHK Uji Perppu Pilkada).

Evolusi ketiga terjadi setelah UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum lahir. Pihak yang keberatan bisa mengajukan SK KPU ke Bawaslu. Pasal 469 UU Pemilu menyatakan putusan Bawaslu mengenai penyelesaian sengketa proses pemilu merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat, kecuali putusan terhadap sengketa proses pemilu yang berkaitan dengan tiga hal. Pertama, verifikasi partai politik peserta pemilu. Kedua, penetapan daftar calon tetap anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Ketiga, penetapan pasangan calon. Jika salah satu dari tiga pengecualian ini terjadi maka pihak yang tak menerima putusan Bawaslu, dapat mengajukan upaya hukum ke Pengadilan Tata Usaha Negara.

Pasal 471 ayat (7) UU Pemilu menegaskan bahwa putusan PTUN sebagaimana dimaksud ayat (6) bersifat final dan mengikat, serta tidak dapat dilakukan upaya hukum lain. Di sini, upaya hukum ke Mahkamah Agung ditiadakan. “Jadi, sengketanya berakhir di PTUN,” ujar Fritz dalam diskusi.

Melihat tiga kali evolusi, Fritz mengajukan pertanyaan tadi: mungkinkah terjadi evolusi keempat? Salah satu yang menggugah keyakinan Fritz atas munculnya evolusi keempat adalah semakin mengecilnya peran Mahkamah Agung, dan semakin sentralnya posisi Bawaslu dalam penyelesaian sengketa. Bawaslu bukan saja melakukan mediasi, tetapi ajudikasi. Tugas melakukan ajudikasi itu ditegaskan dalam Pasal 94 UU Pemilu. Dalam melakukan penindakan sengketa proses pemilu, Bawaslu bertugas (a) menerima permohonan penyelesaian sengketa proses pemilu; (b) memverifikasi secara formal dan material permohonan penyelesaian sengketa proses pemilu; (c) melakukan mediasi antarpihak yang bersengketa; (d) melakukan proses ajudikasi sengketa proses pemilu; dan € memutus penyelesaian sengketa pemilu. Dari tugas dan kewenangan yang diberikan Undang-Undang, pada hakikatnya Bawaslu menjalankan fungsi sebagai peradilan pemilu. Cuma, posisi Bawaslu bukan salah satu pengadilan khusus di bawah Mahkamah Agung.

Tags:

Berita Terkait