Desentralisasi Suburkan Korupsi di Daerah? Ini Penjelasan Komisioner KPK
Berita

Desentralisasi Suburkan Korupsi di Daerah? Ini Penjelasan Komisioner KPK

Data KPK per April 2018, sudah 93 kepala daerah tersangkut kasus korupsi.

Oleh:
Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Para pembicara dalam diskusi tentang kasus korupsi di Kantor PBNU di Jakarta. Foto: DAN
Para pembicara dalam diskusi tentang kasus korupsi di Kantor PBNU di Jakarta. Foto: DAN

Penetapan status tersangka kepada Neneng Hasanah Yasin menambah daftar panjang kepala daerah yang terjerat kasus korupsi. Bupati Bekasi, Jawa Barat, itu berstatus tersangka setelah anak buahnya dan beberapa pengusaha tertangkap tangan KPK. Pengusaha diduga memberikan imbalan sejumlah uang kepada pejabat di Bekasi guna memuluskan proses perizinan pembangunan di kawasan Cikarang, Bekasi.

Padahal, Pemerintah Pusat sudah berkali-kali mengumpulkan kepala daerah dan meminta agar tidak melakukan tindak pidana korupsi. Faktanya, daftar kepala daerah yang terjerat kasus korupsi semakin panjang. Data yang diperoleh dari KPK, per April 2018, tak kurang dari 93 orang kepala daerah yang terjerat perkara korupsi di tangan KPK. Dari jumlah itu, 75 orang adalah bupati/walikota, dan sisanya, 18 orang berlatar belakang gubernur.

Jumlah itu belum termasuk anggota DPRD. Penetapan status tersangka bagi anggota legislatif Kota Malang, anggota DPRD Sumatera Utara, dan beberapa daerah lain memperlihatkan korupsi dilakukan secara massif. Itu sebabnya, muncul pertanyaan mengapa begitu banyak kepala daerah yang terjerat korupsi?

Laode Muhammad Syarif punya kemungkinan jawabannya. Wakil Ketua KPK ini mengatakan banyaknya kepala daerah terkena kasus korupsi bisa jadi merupakan konsekuensi dari desentralisasi. “Kenapa banyak kepala daerah? Mungkin itu konsekuensi desentralisasi,” ujar Laode, dalam diskusi di kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Jakarta, Selasa (13/11).

Berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonom berdasarkan asas otonomi. Kewenangan pemerintah pusat dan daerah juga sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007. Kedua regulasi ini menegaskan hanya  politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiscal, dan agama yang menjadi urusan pemerintahan absolut.

(Baca juga: Cegah Korupsi di Daerah, Peran APIP Bakal Diperkuat).

Dijelaskan Laode, sebelum rezim otonomi daerah berlaku, praktik korupsi nyaris hanya ditemukan di Jakarta dan kota-kota besar. Setelah ada desentralisasi seperti saat ini, banyak bermunculan ‘raja-raja’ kecil di daerah dengan kewenangan pengelolaan anggaran dan jumlah dana yang tidak sedikit. Ditambah banyak kewenangan yang dilimpahkan ke daerah dalam rangka otonomi daerah. “Kalau dulu kekuasaan hanya di kota sekarang kekuasaan juga sampai ke daerah,” jelasnya.

Senada, Ketua Bidang Hukum PBNU Robikin Emhas, berpendapat fenomena biaya demokrasi di daerah ternyata tidak murah. Untuk menutupi biaya yang dikeluarkan, calon kepala daerah atau kepala daerah terpilih menggunakan sistem ijon bersama pengusaha, dengan cara mengarahkan agar proyek tertentu diarahkan kepada pengusaha tertentu pula. Pengusaha juga bersedia membiayai pencalonan kandidat kepala daerah dengan harapan mendapatkan proyek bernilai lebih besar. “Setelah menang baru dikasih proyek,” ujar Robikin.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait