Kritik Sejumlah Pakar atas Vonis Baiq Nuril
Berita

Kritik Sejumlah Pakar atas Vonis Baiq Nuril

Seharusnya, Baiq Nuril tidak bisa dipidana karena dia justru sebagai korban pelecehan seksual. Disarankan Baiq mengajukan PK dengan mencari novum (bukti baru) atau meminta presiden menggunakan hak konstitusinya dengan memberi amnesti.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Gedung MA. Foto: RES
Gedung MA. Foto: RES

Sepekan terakhir, Baiq Nuril Maqnun, seorang pegawai honorer di SMAN 7 Mataram menjadi buah bibir pasca Mahkamah Agung (MA) menjatuhkan vonis bersalah melanggar Pasal 27 ayat (1) jo Pasal 45 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Melalui putusan kasasi No. 574K/Pid.Sus/2018 pada 9 November 2018, Baiq dihukum selama 6 bulan penjara dan denda sebesar Rp 500 juta subsidair pidana kurungan 3 bulan lantaran terbukti mentransmisikan konten yang bermuatan pelanggaran kesusilaan.

 

Sebelumnya, Baqiq sempat dinyatakan bebas pada Juli 2017 oleh Majelis PN Mataram melalui putusan No. 265/Pid.Sus/2017/PN.Mtr karena tidak terbukti memenuhi unsur “tanpa hak mendistribusikan atau mentransmisikan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik atau dokumen elektronik yang bermuatan pelanggaran kesusilaan.” Sebab, bukan Baiq Nuril yang melakukan penyebaran konten tersebut, melainkan pihak lain.

 

Kasus ini bermula saat Baiq Nuril, merekam percakapan teleponnya dengan Kepala SMAN 7 Mataram berinisial M yang saat itu menceritakan hubungan seksual kepala sekolah dengan wanita lain yang bukan isterinya. Tujuannya, untuk dijadikan bukti bahwa dirinya korban pelecehan seksual dan bukan sebagai hubungan gelap. Namun, bukan atas kehendak Baiq rekaman tersebut menyebar. Mulai dari rekannya dan ditransmisi ke laptop, kemudian rekaman ini dikirimkan oleh rekan Baiq Nuril kepada pihak lain.

 

Lalu, pihak lain ini mengirimkan rekaman tersebut ke pengawas SMAN 7 Mataram. Tak terima, M kemudian melaporkan Baiq Nuril ke polisi pada Maret 2017. Dan jaksa mendakwanya dengan Pasal 27 ayat (1) UU ITE yang berbunyi, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.” Alhasil, Baiq Nuril dinyatakan bebas dari segala tuntutan hingga akhirnya jaksa mengajukan kasasi.

 

Menanggapi kasus ini, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Trisakti Prof Andi Hamzah menilai seharusnya Baiq Nuril tidak pantas dihukum. Sebab, ia sebelumnya telah dinyatakan bebas oleh PN Mataram yang seharusnya tidak bisa dilakukan kasasi. “Putusan bebas tidak bisa diajukan kasasi sesuai Pasal 244 KUHAP,” kata Prof Andi ketika dihubungi Hukumonline, Kamis (15/11/2018).

 

Selain itu, vonis MA terhadap Baiq Nuril tidak bisa lebih berat hukumannya dibanding pengadilan di bawahnya yang telah dinyatakan bebas. Praktik di Belanda, MA tidak boleh menghukum lebih berat daripada pengadilan dibawahnya. Terlebih, putusan sebelumnya bebas. “Kok di Indonesia ini malah menghukum,” kata dia.

 

Dosen Hukum Pidana UII, Mudzakir menilai bila sebuah perkara PN memutus lepas diperbolehkan untuk diajukan kasasi. Tetapi, jika PN memutus bebas tidak boleh jaksa mengajukan kasasi. “Jika jaksa tetap mengajukan kasasi, seringkali mereka melakukan penyelundupan hukum. Artinya, yang seharusnya diputus lepas, tetapi diputus bebas,” kata dia.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait