Akademisi: Pengaturan Tanah Ulayat Masih ‘Setengah Hati’
Berita

Akademisi: Pengaturan Tanah Ulayat Masih ‘Setengah Hati’

Pengaturan dan perlindungan terhadap tanah ulayat sebagai hak masyarakat hukum adat perlu dituangkan secara komprehensif dalam satu undang-undang.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi hutan adat. Foto: MYS
Ilustrasi hutan adat. Foto: MYS

Pemerintah mengakui keberadaan hak masyarakat hukum adat seperti tanah ulayat. Pengakuan itu tertuang dalam sejumlah regulasi seperti Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang intinya menyebut negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pengakuan serupa juga tercantum dalam Pasal 2 ayat (4) dan Pasal 3 UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Staf pengajar Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) Yogyakarta, Julius Sembiring, menilai pengakuan negara itu sifatnya terbatas secara eksistensi dan pelaksanaannya. Misalnya, terkait eksistensi, pembatasan itu meliputi sepanjang menurut kenyatannya masih ada; sesuai dengan kepentingan nasional dan negara; berdasarkan atas persatuan bangsa; tidak boleh bertentangan dengan UU dan peraturan lain.

Regulasi lain yang mengakui keberadaan masyarakat hukum adat antara lain Pasal 4 ayat (3) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 4 ayat (3) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Pasal 34 ayat (2) UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, dan Pasal 35 ayat (6) tentang Ketenagalistrikan. Ada juga regulasi yang diterbitkan pemerintah daerah berupa Peraturan Daerah (Perda), Peraturan Gubernur (Pergub) dan Peraturan atau keputusan bupati/walikota.

(Baca juga: Enam Catatan Koalisi untuk RUU Masyarakat Hukum Adat).

Dari berbagai peraturan yang diterbitkan pemerintah terkait tanah ulayat sebagai bagian dari hak masyarakat hukum adat itu Julius menilai pengaturan dan perlindungan yang dilakukan pemerintah sifatnya masih sektoral, ‘setengah hati,’ dan politis. Sektoral karena regulasi itu diterbitkan sesuai kepentingan masing-masing lembaga pemerintahan yang bersangkutan. Akibatnya, pengaturan tentang tanah ulayat dan masyarakat hukum adat terpencar di berbagai regulasi.

Pengaturan yang dilakukan pemerintah menurut Julius masih ‘setengah hati’ karena regulasinya ada tapi tidak dapat dilaksanakan. Sebab, tidak semua daerah menerbitkan Perda yang mengatur tentang tanah ulayat. “Hak tanah ulayat itu diakui negara tapi kewenangannya ada di daerah untuk menerbitkan Perda. Sayangnya banyak daerah yang belum menerbitkan Perda tentang tanah ulayat,” katanya kepada wartawan usai kegiatan peluncuran buku bertema Dinamika Pengaturan dan Permasalahan Tanah Ulayat di Jakarta, Kamis, (15/11).

Selain itu pengaturan tentang tanah ulayat di sebagian daerah sifatnya politis. Misalnya, agar terpilih kembali menjadi kepala daerah, petahana menggandeng tokoh masyarakat hukum adat setempat dan menerbitkan Perda yang mengakui keberadaan tanah ulayat dari masyarakat hukum adat tersebut. Ada juga Perda yang diterbitkan dengan tujuan agar masyarakat hukum adat tertentu mendapat kompensasi karena wilayahnya akan masuk investasi.

Julius mengusulkan kepada pemerintah dan DPR untuk menerbitkan satu UU yang mengatur secara utuh mengenai hak-hak masyarakat hukum adat seperti tanah ulayat serta perlindungannya. UU itu harus mengatur jelas mengenai subyek, obyek dan hak-hak masyarakat hukum adat. “Bisa saja bentuknya UU Perlindungan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat,” ujarnya.

(Baca juga: RUU Masyarakat Hukum Adat Perlu Masukan Semua Tokoh Adat).

Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar, Farida Patittingi, menilai RUU Pertanahan yang sekarang masih dibahas di DPR sudah cukup baik untuk melindungi tanah ulayat. Paling penting, UU itu harus mengatur klasifikasi tentang status tanah sehingga jelas mana tanah yang dikuasai langsung dan tidak oleh negara. “Ketentuan ini bisa saja masuk bab khusus dalam RUU Pertanahan,” urainya.

Farida menekankan pentingnya penegasan tentang asas tanah ulayat. Menurutnya tanah ulayat mencakup dua asas yakni penguasaan (publik) untuk mengatur dan kepemilikan atau berdimensi perdata. “Kedua hal itu harus dipertegas, bahwa hak ulayat itu berdimensi publik dan perdata,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait