Butuh Kebijakan Tepat dalam Transisi Menuju Energi Terbarukan
Berita

Butuh Kebijakan Tepat dalam Transisi Menuju Energi Terbarukan

Perlu dipikirkan jalan tengah yang dapat menjembatani pemenuhan kebutuhan listrik di daerah dengan upaya transisi sumber energi listrik.

Oleh:
Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi energi listrik. Ilustrator: BAS
Ilustrasi energi listrik. Ilustrator: BAS

Perubahan yang cepat terjadi di sektor energi di dunia, baik dalam bentuk dekarbonisasi, digitalisasi, dan desentralisasi pembangkit, maupun demokratisasi penyediaan listrik yang menempatkan konsumen sekaligus menjadi produsen (prosumer). Kondisi ini menciptakan ancaman sekaligus peluang bagi sektor energi, khususnya sektor energi kelistrikan di Indoensia. Penyediaan listrik yang masih bertumpu pada bahan bakar fosil (batubara, minyak, dan gas alam) saat ini semakin meningkatkan resiko financial stranded asset  (menghilangnya nilai aset) dari aset-aset pembangkit dan tambang dalam waktu dekat.

Resiko diperkuat beberapa kecenderungan seperti harga teknologi energi terbarukan semakin murah dan kompetitif, tingkat efisiensi perangkat listrik yang semakin tinggi, dan tekanan internasional yang semakin kuat untuk menurunkan emisi gas rumah kaca khususnya dari sektor energi, untuk mencapai target Paris Agreement (Kerangka Kerangka PBB mengenai Perubahan Iklim). Indonesia sudah meratifikasi Paris Agreement ini melalui 16 Tahun 2016. Bagaimana Indonesia bisa melakukan transformasi energi menuju energi bersih secara berkeadilan?

Membutuhkan kajian dan persiapan yang serius serta komitmen politik dari berbagai pemangku kepentingan. Transformasi energi membutuhkan investasi yang besar untuk energi terbarukan. Disisi lain perlu ada rasionalisasi terhadap rencana pembangunan PLTU batubara dan kontrak-kontrak batubara yang telah ada. Studi yang dilakukan Carbon Tracker (2018) menunjukkan bahwa investasi untuk pembangkit listrik tenaga surya dan harga listrinya akan lebih murah dibandingkan dengan menggunakan PLTU baru pada tahun 2027-2028.

(Baca juga: DPR Mulai Bahas RUU Energi Baru Terbarukan).

Arah kebijakan energi kelistrikan Indonesia hari ini masih bertolak belakang dengan kecenderungan global. Kondisi ini akan meningkatkan resiko finansial bagi aset PLN dan Independent Power Producer (IPP) seiring dengan semakin kompetitifnya harga energi terbarukan -harga listrik dari jaringan (grid) pada pertengahan dekade mendatang. Untuk itu, Institute for Essential Reform (IESR) mengingatkan pemerintah dan perusahaan listrik perlu menyadari ancaman ini dan mulai melakukan transformasi bisnisnya.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan, menggambarkan rasio elektrifikasi Indonesia yang belum merata. Disparitas antara Jawa dan Bali dengan daerah-daerah lainnya masih ditemukan sebagai gambaran situasi ini. Untuk itu perlu dipikirkan jalan tengah yang dapat menjembatani terpenuhinya kebutuhan akan listrik di daerah-daerah dengan upaya transisi sumber energi listrik dari yag berbahan baku fosil ke energi baru terbarukan.

Komitmen pemerintah dalam Paris Agreement pada tahun 2015 menargetkan bauran energi baru terbarukan untuk sektor listrik dan transportasi sebesar 23 persen ditahun 2025. Sekarang, capaian di sektor listrik baru 13 persen dan transportasi sebesar 12 persen. Saat ini pemerintah terus mengembangkan pembangkit listrik geothermal  mengejar target 23 persen energi terbarukan di tahun 2025.

“Mungkin dalam tujuh tahun itu bisalah mencapai bauran energi dibidang kelistrikan karena ini sudah mulai jalan semua dan akan segera diselesaikan pembangkit listrik geothermal itu diberbagai daerah,” ujar Jonan dihadapan wartawan sesaat setelah menajdi keynote speaker dalam Grand Launching Indoensia Clean Energy Forum (ICEF), Kamis (15/11), di Jakarta.

Tags:

Berita Terkait