Menelaah Karya Hakim Konstitusi tentang Pembalikan Beban Pembuktian
Berita

Menelaah Karya Hakim Konstitusi tentang Pembalikan Beban Pembuktian

Sistem pembalikan beban pembuktian dipercaya sebagai cara efekif mengembalikan kerugian keuangan negara. Buku ini salah satu yang menguatkannya.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Buku Pembalikan Beban Pembuktian karya Suhartoyo. Foto: MYS
Buku Pembalikan Beban Pembuktian karya Suhartoyo. Foto: MYS

Ketika berlangsung Konferensi Hukum Tata Negara ke-5 di Batusangkar, Sumatera Barat, pertengahan November lalu, banyak tokoh nasional yang hadir. Tak terkecuali hakim konstitusi. Selain Ketua Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman, yang hadir pada malam pengumuman Anugerah Muhammad Yamin 2018, tampak juga hakim konstitusi Saldi Isra, I Dewa Gede Palguna, Manahan Sitompul, dan Suhartoyo.

Di luar arena Konferensi itu, dibuka beberapa stand. Di salah satu stand itulah dijual buku karya SuhartoyoArgumen Pembalikan Beban Pembuktian Sebagai Metode Prioritas dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang. Tidak ada diskusi atau peluncuran buku ini di Batusangkar. Suhartoyo hadir di sana juga untuk menghadiri Konferensi yang mengambil tema tentang pemilihan umum. Konferensi sudah berakhir, dengan sejumlah rekomendasi.

Kini, mari membahas buku karya hakim konstitusi kelahiran Sleman, 15 November 1959 itu. Buku ini sebenarnya diangkat dari disertasi Suhartoyo dalam ilmu hukum di Universitas Jayabaya. Tetapi secara substansi, sebagaimana disebut Guru Besar Hukum Pidana Indriyanto Seno Adji dalam pengantar, buku ini menarik karena arah dinamis pembalikan beban pembuktian dikaitkan dengan asas premium remedium merupakan langkah massif yang bertujuan mengembalikan keuangan negara dari perbuatan korupsi dan pencucian uang. Dalam kondisi tertentu, penggunaan hukum pidana tidaklah semata ditempatkan sebagai upaya akhir (ultimum remedium). Dengan kata lain dapat saja digunakan prinsip premium remedium. Apalagi korupsi tak hanya dianggap sebagai extraordinary crime, tetapi juga crime against humanity (hal. 1-2).

(Baca juga: Hakim Agung ‘Bingung’ dengan Pembuktian Terbalik).

Untuk mengungkap kasus korupsi itulah beban pembuktian penting diperhatikan. Tantangannya, metode pembalikan beban pembuktian  menghadapi  persoalan teknis. Mengapa? Ini terkait prinsip dasar sistem pembuktian. Siapa yang mendalilkan, dialah yang membuktikan. Begitulah prinsip yang selama ini dikenal dalam sistem pembuktian. Siapa yang mengklaim orang lain punya utang padanya, maka ia harus membuktikan klaim itu. Dalam kasus korupsi dan pencucian uang, sistem pembuktian itu dibalik; tak lagi ada di tangan jaksa, melainkan di tangan orang yang didakwa. Inilah yang dapat dianggap sebagai terobosan bagi aparat penegak hukum. Dilema yang dihadapi aparat penegak hukum di Indonesia berkaitan dengan politik legislasi (hal. 10).

Argumen Pembalikan Beban Pembuktian Sebagai Metode Prioritas dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang

Penulis

Suhartoyo

Penerbit

RajaGrafindo, Depok

Cet-1

November 2018

Halaman

271 + xxi

Peraturan pemberantasan korupsi lama, UU No. 3 Tahun 1971 sebenarnya sudah menyinggung bahwa hakim dapat memperkenankan terdakwa memberikan keterangan tentang pembuktian bahwaa ia tidak bersalah. Dalam UU No. 31 Tahun 1999 juncto  UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mempertegas lagi bahwa terdakwa wajib membuktikan harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana korupsi. UU Pemberantasan Korupsi Indonesia memperkenalkan tiga sistem pembuktian.

Pertama, pembalikan beban pembuktian dibebankan kepada terdakwa untuk membuktikan dirinya tidak melakukan tindak pidana sebagaimana yang dituduhkan. Kedua, metode pembalikan beban pembuktian yang bersifat semi terbalik atau terbatas dan berimbang. Dalam konteks ini, beban pembuktian diletakkan baik di pundak terdakwa maupun penuntut umum secara berimbang. Ketiga, sistem konvensional, dimana pembuktian tindak pidana korupsi da kesalahan terdakwa dibebankan sepenuhnya kepada penuntut umum (hal. 211-212). Model pembalikan beban pembuktian juga dikenal dalam UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Tags:

Berita Terkait