Mengurai Persoalan Hukum Pengelolaan Tambang Bawah Laut
Utama

Mengurai Persoalan Hukum Pengelolaan Tambang Bawah Laut

Eksplorasi dan eksploitasi barang tambang yang tersebar di kawasan laut yang overlapping antar dua negara mengandung kompleksitas yang tinggi, mulai dari negosiasi penentuan batas teritori hingga dampak dari eksploitasi tambang ke yurisdiksi lain.

Oleh:
Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit
Konferensi Internasional bertajuk “UNCLOS & Artificial Islands Beyond National Jurisdiction” yang diadakan FH Unpad, Kamis (22/11). Foto: HMQ
Konferensi Internasional bertajuk “UNCLOS & Artificial Islands Beyond National Jurisdiction” yang diadakan FH Unpad, Kamis (22/11). Foto: HMQ

Kekayaan alam berupa tambang memang kerapkali menjadi incaran lantaran memiliki nilai ekonomi yang begitu tinggi, baik bagi perusahaan tambang maupun Negara pemilik yurisdiksi sebagai pemegang otoritas perizinan. Perizinan eksplorasi dan eksploitasi tambang di wilayah daratan yang sudah jelas yurisdiksi Negaranya, memang tak begitu menjadi persoalan. Lain halnya dengan sumber tambang yang terletak di grey area atau persis di tengah kedaulatan dasar laut (landas kontinen) dua Negara, tak mudah mencapai kesepakatan hingga akhirnya bisa di eksploitasi sebagai sumber ekonomi riil.

 

Dalam Konferensi Internasional bertajuk “UNCLOS & Artificial Islands Beyond National Jurisdiction” yang diadakan FH Unpad, Kamis (22/11), Ahli hukum laut dan geospasial dari Universitas Gadjah Mada (UGM), I Made Andi Arsana, mengakui memang eksplorasi dan eksploitasi barang tambang yang tersebar di kawasan laut yang overlapping antar dua negara mengandung kompleksitas yang tinggi, mulai dari negosiasi penentuan batas teritori hingga dampak dari eksploitasi tambang ke yurisdiksi lain.

 

Ada dua skenario yang digunakan untuk mengurai persoalan pengelolaan tambang itu, kata Made. Pertama, jika batas teritori sudah clear dinegosiasikan antar dua negara, maka eksplorasi dan eksploitasi bisa dilakukan oleh masing-masing Negara atau bisa juga dilakukan pengelolaan bersama yang dituangkan melalui Joint Development Area (JDA).

 

Kedua, jika batas teritori antar dua negara masih belum jelas, dalam hal hubungan antar Negara bersangkutan tak baik hingga negosiasi pun tak menuai hasil maka jelas eksplorasi dan eksploitasi tak bisa dilakukan. Akibatnya, masing-masing Negara jelas akan merugi karena SDA tersebut tak bisa dimanfaatkan.

 

Sebaliknya, jika antar Negara memiliki hubungan yang baik maka garis batas dapat dinegosiasikan. Bahkan jika garis batas tak berhasil di negosiasikan, para pihak tetap dapat membentuk suatu perjanjian sementara/JDA yang berisi ketentuan soal pengelolaan kawasan secara bersama.

 

Bila kesepakatan JDA tercapai, Negara dapat melakukan pengelolaan sendiri atau memberikan izin konsesi kepada pihak ketiga. Sementara hasil produksinya akan dibagi berdasarkan persentase yang telah ditetapkan dalam kesepakatan.

 

Sebagai contoh, Indonesia pernah mencapai kesepakatan JDA di Tahun 1989 dengan Australia di kasus Laut Timor atau yang dikenal juga sebagai ‘Celah Timor’ (sebelum Timor Leste merdeka). Perebutan cadangan minyak dan gas yang ditaksir bernilai puluhan miliar dolar di lepas pantai Timor (area Timor Leste), akhirnya dikelola secara bersama.

Tags:

Berita Terkait