Terkait Perjanjian Investasi dengan Negara Lain, Putusan MK Ini Harus Jadi Rujukan
Berita

Terkait Perjanjian Investasi dengan Negara Lain, Putusan MK Ini Harus Jadi Rujukan

Perjanjian yang akan diratifikasi setelah putusan ini harus dinilai apakah sebagai perjanjian yang penting. Jika penting, harus lebih dahulu ada persetujuan DPR.

Oleh:
Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Depan Gedung MK di Jakarta. Foto: RES
Depan Gedung MK di Jakarta. Foto: RES

Pada 22 November 2018, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan Putusan atas perkara No.13/PUU-XVI/2018 mengenai pengujian UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional terhadap Undang-undang Dasar 1945. Perkara ini diajukan oleh Tim Advokasi Keadilan Ekonomi pada 14 Februari 2018 ke Mahkamah Konstitusi. Pasal yang diuji Mahkamah adalah Pasal 2, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 11 UU Perjanjian Internasional.

Paling tidak ada empat alasan sebagai latarbelakang mengapa UU Perjanjian Internasional ini digugat ke MK, yaitu tentang perjanjian internasional (secara khusus perdagangan, investasi, dan utang) berdampak luas terhadap kehidupan rakyat; hilangnya demokrasi; kekuasaan Pemerintah terlalu besar (absolute power); dan untuk mengembalikan kedaulatan rakyat. Keempat pasal tersebut dimohonkan kepada MK untuk ditafsir karena dianggap telah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi rakyat akibatnya hilang kontrol dan keterlibatan rakyat dalam proses perundingan perjanjian Internasional. Bahkan, proses perundingan yang terkesan rahasia karena tertutupnya partisipasi dan akses publik terhadap informasi serta draft teks perjanjian  yang masih dalam proses negosiasi perjanjian perdagangan bebas dan investasi internasional telah mengancam demokrasi dan perlindungan hak asasi manusia.

Terlebih lagi, perjanjian perdagangan bebas dan investasi internasional ini disahkan tanpa memerlukan persetujuan DPR sehingga hilangnya fungsi kontrol rakyat atas kekuasaan Pemerintah. Melalui putusan No. 13/PUU-XVI/2018 tersebut, MK telah menghadirkan norma hukum baru dalam perjanjian internasional. Dalam pembacaan putusan, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Pasal 10 UU Perjanjian Internasional bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 11 ayat (2) dan Pasal 28 D ayat (1).

Meskipun MK hanya mengabulkan sebagian dari seluruh permohonan, namun bagi pemohon -Tim Advokasi Keadilan Ekonomi-- Pasal 10 UU Perjanjian Internasional adalah ‘jantung’ dari permohonan. Pemohon menilai putusan MK ini mendobrak pembaharuan sistem hukum nasional khususnya yang terkait dengan perjanjian internasional dengan dinamika perubahan masyarakat global yang perlu disesuaikan.

Direktur eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ), Rachmi Hertanti, menyampaikan bahwa Putusan MK atas pengujian terhadap Undang-undang Perjanjian Internasional telah memberi kriteria yang lebih terbuka atas perjanjian internasional yang mengharuskan Persetujuan DPR. Menurutnya, selama ini Perjanjian Perdagangan Bebas dan Perjanjian Investasi bukanlah perjanjian internasional yang mengharuskan adanya persetujuan DPR, sehingga rakyat kehilangan kontrol atas kedaulatan negara.

Sekadar contoh, perjanjian perdagangan dan perjanjian perlindungan penanaman modal (Bilateral Investment Treaty). Dalam dinamika perkembangan global perjanjian semacam itu berdampak luas bagi kehidupan rakyat. Tetapi dalam proses pengesahannya tidak memerlukan persetujuan DPR. Inilah yang dipersoalkan pemohon. “Oleh karena itu, dua perjanjian ini tidak bisa lagi hanya disebut perjanjian internasional yang mengatur hal-hal teknis dan prosedural” ujar Rachmi kepada hukumonline, Selasa (27/11).

Lebih lanjut Rachmi menambahkan, bahwa dengan adanya putusan MK ini, maka ke depan menimbulkan sejumlah konsekuensi hukum. Perjanjian internasional yang akan diratifikasi  harus tunduk pada putusan MK. Khusus perjanjian perdagangan bebas dan investasi, ada beberapa yang sudah selesai dibahas dan akan masuk pada tahap ratifikasi seperti Indonesia-Australia CEPA, Indonesia-Europe FTA (IEFTA), dan Indonesia-Singapura Bilateral Investment Treaty (BIT). Seyogianya perjanjian-perjanjian ini dicermati sebagai perjanjian yang penting sehingga mengharuskan persetujuan DPR. Misalnya, Bilateral Investment Treaty antara Indonesia dan Singapura yang baru saja ditandangani. “Bahkan, tindakan sepihak Pemerintah yang mengambil alih ratifikasi enam perjanjian dari tangan DPR beberapa waktu lalu, telah bertentangan dengan Konstitusi berdasarkan Putusan ini”, tegas Rachmi.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait