Bersama Bawaslu Melawan Politik Uang
Berita

Bersama Bawaslu Melawan Politik Uang

Kita harus lawan segala bentuk politik uang karena berdampak buruk dalam kehidupan demokrasi dan menusuk rasa keadilan.

Bacaan 2 Menit
Komisioner Bawaslu Jakarta Utara, Benny Sabdo. Foto: Istimewa
Komisioner Bawaslu Jakarta Utara, Benny Sabdo. Foto: Istimewa

Gary Goodpaster dalam studinya mendefinisikan politik uang dalam konteks norma hukum pemilu. Dalam studinya, ia mendefinisikan politik uang sebagai bagian dari korupsi yang terjadi dalam proses pemilu, yang meliputi pemilihan presiden, pemilihan legislatif, dan pemilihan kepala daerah. Ia menyimpulkan politik uang adalah transaksi suap-menyuap yang dilakukan oleh aktor untuk kepentingan mendapatkan keuntungan suara dalam pemilihan. 

 

Baru-baru ini, Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Jakarta Utara memproses kasus dugaan money politic atau politik uang calon legislatif DPRD DKI Jakarta dari Partai Perindo. Caleg tersebut bernama David H. Rahardja, terjerat perkara dugaan tindak pidana pemilu, pembagian minyak goreng dalam kampanye. Kegiatan kampanye ini dilakukan tepat pada hari pertama pada masa kampanye, tidak ada pemberitahuan dan diduga menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnnya kepada masyarakat sebagaimana diatur dalam Pasal 523 ayat (1) juncto Pasal 280 ayat (1) huruf j UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.   

 

Jaksa penuntut umum sudah melimpahkan perkara ini ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara. Dengan demikian, perkara politik uang di Jakarta Utara ini yang pertama kalinya dalam Pemilu Serentak 2019 masuk babak persidangan. Berdasarkan UU 7/2017, PN Jakarta Utara dapat memeriksa, mengadili dan memutus perkara tindak pidana pemilu paling lama tujuh hari kerja setelah pelimpahan berkas perkara, dan dapat dilakukan dengan tanpa kehadiran terdakwa (in absentia). Ketentuan ini juga diatur Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penyelesaian Tindak Pidana Pemilu. 

 

Seperti diketahui sejak 2004, Indonesia sudah melaksanakan pemilu secara langsung. Salah satu catatan dalam pemilu, di Indonesia saat ini adalah adanya virus yang sulit diberantas, yaitu politik uang. Politik uang kerap dijadikan metode untuk menggapai kekuasaan dalam sebuah perhelatan politik yang bernama pemilu. Politik uang tentu berbeda dengan biaya politik. Jika biaya politik adalah harga yang harus dikeluarkan dalam konstestasi politik, seperti pembelian atribut kampanye; pemesanan bendera partai; kemeja atau seragam tim kampanye. Sedangkan politik uang meminta pihak tertentu memberikan suaranya atau jual beli suara.   

 

Menurut riset Indonesia Corruption Watch (ICW) di 15 provinsi terkait adanya praktik politik uang yang dilakukan caleg untuk mendulang suara pada pemilu legislatif 9 April 2014 lalu, menyimpulkan masih maraknya praktik politik uang, dengan kasus terbanyak terjadi di Provinsi Banten yaitu 36 kasus politik uang. Disusul Riau dan Bengkulu dengan 31 kasus; Sumatera Barat 31 kasus; dan Sumatera Utara 29 kasus. Kemudian, Bawaslu juga menemukan 600 dugaan politik uang dalam masa tenang ketika Pilkada 2017 kemarin. Angka ini mengalami peningkatan signifikan dibanding dalam Pilkada 2015 yang hanya sebanyak 92 kasus.

 

Praktik politik uang dalam pemilu, meskipun hal itu adalah pelanggaran, sudah bukan rahasia lagi. Hasil survei bahkan menunjukkan, mayoritas publik mengaku bersedia menerima pemberian uang dari para caleg atau partai politik. Hal ini menjadi sebuah fenomena berbahaya, membuat nilai-nilai demokrasi menjadi tercemar. Politik uang telah mereduksi kampanye pemilu. Kampanye meliputi visi, misi, dan program kerja menjadi tenggelam dalam banalitas politik uang.

 

Politik uang merupakan suatu bentuk pemberian atau janji menyuap seseorang, baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih (golput) maupun supaya menjalankan haknya dengan cara tertentu pada saat pemilu. Pemberian dapat dilakukan menggunakan uang atau barang. Politik uang adalah sebuah bentuk pelanggaran kampanye. Politik uang umumnya dilakukan simpatisan, kader, atau bahkan pengurus partai politik menjelang hari pencoblosan. Istilah populernya yakni “serangan fajar”.

Tags:

Berita Terkait