Industri teknologi yang terus berkembang di Indonesia berdampak pada meluasnya bisnis pada banyak bidang, termasuk media siber. Hal ini diungkapkan Ketua Umum Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Wenseslaus Manggut saat bertemu Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly beserta jajarannya di kantor Kemenkumham di Jakarta, Kamis (29/11).
Wens mengatakan, ada gap yang perlu diperjelas antara media siber dengan perusahaan teknologi yang menyiarkan konten berita. Di satu sisi, media siber wajib patuh pada sejumlah peraturan perundang-undangan yang berlaku, mulai dari UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, Pedoman Media Siber, Kode Etik Jurnalistik, verifikasi media hingga sertifikasi jurnalis.
Namun di sisi lain, terdapat pula perusahaan teknologi yang menyiarkan konten berita tapi tak tunduk pada sejumlah peraturan perundang-undangan tersebut. Kejelasan ini penting demi meminimalisir munculnya hoax maupun ujaran kebencian (hate speech). “Jadi, kita merasa tidak diperlakukan secara fair,” kata Wens.
Dalam sambutannya, Menteri Yasonna mengamini yang menjadi kegelisahan AMSI. Menurut dia, regulasi media siber belakangan ini sudah menjadi sebuah keharusan baik untuk awak media maupun masyarakat. Untuk itu, ia sepakat perlu adanya pengaturan khusus mengenai media siber.
Namun, Yasonna mengingatkan, regulasi media siber tersebut tidak boleh berlebihan sehingga berpotensi mengekang kebebasan pers dan menyatakan pendapat. “Memang kekosongan hukum di media online mau tidak mau harus segera diisi dengan baik. Saya setuju kalau ini harus segera dibicarakan dengan (Kementerian) Kominfo," katanya.
Regulasi yang mengatur media siber di Indonesia, menurut Yasonna, merupakan sebuah hal yang sangat penting. Sebab, regulasi diperlukan untuk memastikan asas fairness, asas pertanggungjawaban produk jurnalistik dan bisnis, serta memberi kepastian hukum. Ia percaya, regulasi tersebut akan memperlihatkan mana media online yang dapat dipertanggungjawabkan dan mana yang tidak.
Baca: