Meninjau Pemidanaan Pencemaran Nama Baik di Internet
Kolom

Meninjau Pemidanaan Pencemaran Nama Baik di Internet

Mendekati Pemilu tahun depan, penyalahgunaan Pasal 27 Ayat 3 UU ITE rentan terjadi, ketidaksukaan seseorang terhadap sebuah pernyataan bisa berujung pelaporan, walaupun hal tersebut tidak memenuhi unsur pencemaran nama baik.

Bacaan 2 Menit
Eka Nugraha Putra. Foto: Istimewa
Eka Nugraha Putra. Foto: Istimewa

10 tahun setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), ditambah dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE Perubahan) nampaknya masih menimbulkan problematika hukum, terkhusus pada penegakan Pasal 27 Ayat (3) UU ITE terkait tindak pidana pencemaran nama baik.

 

Mendiskusikan pencemaran nama baik tentu akan terkait dengan praktik demokrasi. Dunia internasional mengakui bahwa berjalan baiknya suatu demokrasi sebagai suatu rule of law di sebuah negara akan terkait erat dengan perlindungan hak-hak asasi manusia, khususnya kebebasan berekspresi.

 

Kebebasan bereskpresi adalah salah satu hak yang fundamental, sebagaimana tercantum dalam beberapa instrumen hukum internasional seperti Universal Declaration of Human Right (UDHR) dan International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR). Kedua produk hukum internasional tersebut tegas merumuskan bahwa kebebasan berekspresi adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dilindungi, dengan kata lain, memberikan manusia kesempatan untuk secara bebas mengartikulasikan ide dan mengekspresikan opini yang dimilikinya adalah yang membuat manusia tersebut sebagaimana seutuhnya manusia.

 

UDHR merumuskan pada pasal 19 yang secara garis besar menyatakan tidak boleh ada intervensi kepada individu yang memiliki sebuah opini atau ekspresi, termasuk menerima, mencari atau menyebarkan ide-ide yang dimilikinya. Sementara menurut ICCPR, juga pada Pasal 19, secara ringkas hak berekspresi dipertegas ruang lingkupnya pada Ayat 3 bahwa hak tersebut akan memiliki batasan apabila melanggar (a) hak-hak orang lain dan (b) mengganggu keamanan nasional atau ketertiban umum.

 

Baik UDHR maupun ICCPR sudah diakui dan diratifikasi Indonesia, sehingga produk hukum internasional ini menjadi landasan bagi Indonesia untuk menyusun peraturan perundang-undangan terkait Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam konteks Indonesia sendiri, jaminan perlindungan bagi kebebasan berekspresi sendiri termaktub dalam Pasal 28 UUD 1945 yang berbunyi “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang.” Bunyi pasal tersebut sebetulnya sudah jelas menyatakan bahwa batasan kebebasan berekspresi di Indonesia telah dijamin oleh konstitusi kita, selain itu limitasi kebebasan berekspresi juga harus melalui Undang-Undang (prescribed by law).

 

Masuknya kita di era digital saat ini tidak bisa dipungkiri memberi tantangan baru bagi penegakan hukum. Hal ini karena dalam konteks tindakan pencemaran nama baik, internet tentu semakin mempermudah penyebaran konten yang diduga menghina atau mencemarkan nama baik, sehingga sebuah aturan hukum yang jelas dan tegas dibutuhkan dalam ranah hukum Indonesia untuk mengatasi dan mencegah penyebaran konten tersebut.

 

Bunyi Pasal 27 Ayat 3 UU ITE adalah “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”. Dalam rangka menguraikan perlu tidaknya pemidanaan di Pasal ini eksis, penulis menguraikan beberapa hal yang menjadi problem hukum terkait penerapannya.

Tags:

Berita Terkait